Kondisi Pulau Pari Saat Ini: Pernah Makmur Kini Terjepit Abrasi, Reklamasi, dan Kriminalisasi

photo author
- Minggu, 31 Agustus 2025 | 16:16 WIB
Kelompok masyarakat sipil bersama warga Pulau Pari menggelar aksi damai di Pantai Perawan, demi menuntut keadilan sosial dan lingkungan di Pulau Pari.
Kelompok masyarakat sipil bersama warga Pulau Pari menggelar aksi damai di Pantai Perawan, demi menuntut keadilan sosial dan lingkungan di Pulau Pari.

 

HUKAMANEWS GreenFaith - Di bawah langit biru yang sama, Pulau Pari kini berubah wajah. Pulau seluas sekitar 41 hektar yang dulu tenang dan makmur menjadi saksi pahit betapa krisis iklim dan tekanan pembangunan merusak kehidupan warganya. 

Data LindungiHutan mencatat bahwa luas mangrove alami di pulau itu mencapai sekitar 9,3 ha, tumbuh secara mandiri dan menjadi pelindung penting terhadap abrasi dan banjir rob. Mangrove menahan gelombang, menyerap karbon, dan menopang ekosistem pesisir yang rapuh. 

Namun pertempuran mereka belum berakhir. Dalam beberapa tahun terakhir, pengerukan pasir laut yang dilakukan tanpa izin menghancurkan sekitar 40.000 pohon mangrove di lahan seluas 1,37 hektare, sekaligus merusak terumbu karang dan padang lamun seluas 62 m². Akibatnya, banjir rob kian sering menghantam. Melansir antaranews.com, pada akhir 2024, rob setinggi lutut orang dewasa bahkan menggenangi Pantai Pasir Perawan, titik favorit wisata pulau ini. 

Kehidupan sosial warga pun terasa tersengat. Mustafa, nelayan berusia 73 tahun yang kini lebih memilih menyediakan jasa wisata perahu ketimbang melaut, menyampaikan bahwa hasil tangkapan ikan telah menurun drastis, akibat reklamasi dan rusaknya ekosistem laut. 

Kini, wisata bahari menyumbang hingga 70 persen dari pendapatan ekonomi lokal. Namun konflik agraria menambah beban. Lebih dari 60 bidang tanah telah disertifikasi atas nama perusahaan, mengancam hak hidup warga yang telah puluhan tahun tinggal di sini, demikian menukil mongabay.co.id. 

Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3), Mustaghfirin, mencatat bahwa luas daratan pulau telah menyusut dari sekitar 42,8 ha menjadi hanya 41,1 ha akibat abrasi dan hilangnya mangrove. Pencemaran limbah—bukan dari warga—juga menghantui, merusak terumbu karang dan meredupkan kehidupan biota laut yang dulu melimpah. 

Reklamasi di Pulau Tengah, pulau tetangga, juga kian mempersempit ruang nelayan. KIARA menyoroti praktik penimbunan perairan ilegal yang menghilangkan akses warga terhadap zona tangkapan ikan, ruang budidaya, dan area produksi rumput laut. 

Semua fakta ini membuktikan bahwa banjir rob, abrasi, dan krisis lingkungan di Pulau Pari bukan imajinasi, mereka adalah nyata. Konflik agraria, degradasi ekosistem, dan berkurangnya pendapatan nelayan menjadi bukti tajam bahwa warga Pulau Pari bukan sekedar korban alam, tetapi korban sistemik yang terhubung ke keputusan izin, legalitas reklamasi, hingga kebijakan ekologis yang goyah. 

Atas kondisi ini, pemerintah pusat pun turun tangan. Menteri Lingkungan Hidup menyegel aktivitas pengerukan ilegal dan menegaskan bahwa pembangunan tanpa dokumen lingkungan adalah pelanggaran serius. 

Pulau Pari kini berdiri di persimpangan: antara mempertahankan warisan hidup dan memikul beban modernisasi yang tak terkendali. Saat rakyat lokal terus berupaya melestarikan mangrove, menjaga pendidikan generasi, dan mendukung wisata berkelanjutan, kenyataan lapangan menunjukkan bahwa ekosistem dan sosial mereka berada di ambang kehancuran jika tidak segera ditangani secara menyeluruh.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X