HUKAMANEWS Greenfaith - Siapa sangka, dusun kecil di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang dulu dikenal kumuh dan padat penduduk, kini menjelma jadi desa wisata ramah lingkungan yang ramai dikunjungi pelancong.
Dulu, mendengar nama Sangurejo mungkin bikin orang langsung teringat pada kawasan yang padat, kumuh, dan miskin alias PaKuMis.
Namun, sejak 2022, wajah dusun ini berubah drastis.
Sangurejo tidak hanya bersolek dalam arti fisik, tapi juga berhasil membalik stigma lama lewat gerakan kolektif warga.
Baca Juga: Saatnya Masjid Jadi Garda Terdepan Aksi Iklim, Gerakan Hijau Dimulai dari Sini
Menariknya, transformasi ini tidak lahir dari proyek mahal pemerintah atau intervensi lembaga internasional.
Kunci perubahan justru terletak pada pendekatan yang sangat membumi: menggerakkan masyarakat lewat bahasa agama.
Ya, dari Sangurejo, kita belajar bahwa narasi keagamaan punya kekuatan luar biasa untuk menginspirasi perubahan nyata—khususnya dalam isu lingkungan.
Dari Wabah ke Gerakan: Titik Balik Sangurejo
Segalanya bermula dari pengalaman pahit di tahun 2012 saat Sangurejo dilanda wabah demam berdarah.
Kebiasaan membuang sampah sembarangan dan sistem saluran air yang mampet jadi penyebab utamanya.
Kondisi ini bukan hanya merugikan dari sisi kesehatan, tapi juga memperburuk kualitas hidup warga.
Namun dari krisis itulah muncul kesadaran baru.
Para tokoh agama yang juga aktif di isu lingkungan mulai menyuarakan pesan-pesan pelestarian lewat mimbar dan majelis taklim.