HUKAMANEWS GreenFaith - Slogan "drill, baby, drill" menjadi simbol perlawanan presiden baru Amerika Serikat Donald Trump terhadap transisi energi bersih. Alih-alih mendorong investasi dalam energi terbarukan, kebijakan ini mengutamakan eksploitasi cadangan fosil.
Trump berargumen bahwa kebijakan ramah lingkungan "membunuh" lapangan kerja di AS dan memberikan keuntungan ekonomi kepada pesaing utama seperti Cina. Dalam pidatonya, ia menyebut Perjanjian Paris sebagai "tipuan sepihak" yang tidak adil bagi Amerika.
Janji Trump saat kembali menempati Gedung Putih ini tak lain untuk memperluas eksploitasi cadangan minyak dan gas terbesar di dunia milik Amerika Serikat. Di tengah perdebatan panas seputar krisis iklim global, langkah ini menjadi pukulan telak bagi upaya global untuk menahan pemanasan bumi di bawah ambang batas 1,5 derajat Celcius.
Baca Juga: Fenomena Pagar Laut Juga Terjadi di Sepanjang Semarang Demak
Tidak hanya itu, Trump juga kembali memutuskan hubungan Amerika Serikat dengan Perjanjian Iklim Paris. Hal ini kontras dengan kebijakan iklim yang digagas pendahulunya, Joe Biden, termasuk Inflation Reduction Act 2022 yang mendorong energi terbarukan, lapangan kerja ramah lingkungan, dan pengurangan emisi.
Tak salah bila keputusan kontroversi ini menandai babak baru "pengkhianatan" AS terhadap komitmen kolektif dunia untuk menanggulangi krisis iklim. Ini sekaligus sebagai langkah mundur besar dalam agenda lingkungan global.
Menurut laporan World Resources Institute, AS menghasilkan sekitar 11% dari total gas rumah kaca global. Penarikan AS dari Perjanjian Paris berarti menghapus target pengurangan emisi yang telah ditetapkan oleh pemerintahan Biden sebelumnya. Hal ini, secara de facto, menghilangkan peta jalan bagi kota-kota dan negara bagian di AS untuk mengambil langkah konkret menghadapi perubahan iklim.
Baca Juga: Mayoritas Lansia, Warga Terdampak Banjir Kalibodri Kendal Butuh Popok Dewasa
AS dan Beban Moral dalam Perjanjian Paris
Pada masa jabatan pertamanya, Trump sudah pernah menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris. Perjanjian ini bertujuan membatasi kenaikan suhu bumi hingga di bawah 2 derajat Celcius melalui pengurangan emisi karbon global.
AS, sebagai penghasil gas rumah kaca terbesar kedua di dunia, memegang peran kunci dalam perjanjian ini. Penarikan AS, menurut para ahli, menciptakan efek domino yang berpotensi melemahkan komitmen negara-negara lain, termasuk Cina dan Uni Eropa.
Laura Schäfer dari Germanwatch menyoroti dampak global dari kebijakan Trump. “Langkah AS ini bukan hanya sebuah kemunduran, tetapi bisa memicu pengurangan tekanan pada negara penghasil emisi besar lainnya seperti Cina,” ujarnya.
Schäfer mengingatkan, jendela untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat semakin menyempit. Tanpa komitmen penuh dari AS, peluang mencapai target ini kian memudar.
Baca Juga: Cara Beli Token Listrik Diskon 50 Persen di PLN Mobile, Jangan Sampai Terlewat!
Dunia Tanpa Amerika?
Pertanyaan besar yang muncul adalah: bisakah dunia menghadapi krisis iklim tanpa AS? Menurut David Waskow dari World Resources Institute, sebanyak 90% emisi global masih terwakili dalam Perjanjian Paris, bahkan tanpa partisipasi AS.
Namun, absennya AS tetap menciptakan celah besar dalam upaya kolektif ini, terutama dalam hal pendanaan proyek mitigasi dan adaptasi iklim untuk negara berkembang.