Ketika Trump Pilih Minyak, Dampaknya Terhadap Solidaritas Iklim Global dan Masa Depan Investasi Hijau di Indonesia

photo author
- Jumat, 24 Januari 2025 | 14:58 WIB
Presiden Amerika Donald Trump membuat keputusan mengejutkan dengan keluar dari Perjanjian Paris.
Presiden Amerika Donald Trump membuat keputusan mengejutkan dengan keluar dari Perjanjian Paris.

HUKAMANEWS GreenFaith - Langkah kontroversial Donald Trump yang kembali menarik Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris pada masa jabatan keduanya menjadi pukulan telak bagi upaya global dalam mengatasi perubahan iklim. Keputusan ini tak hanya merusak solidaritas internasional, tetapi juga memberikan dampak signifikan terhadap investasi hijau di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Diketahui, AS adalah salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia dan memiliki tanggung jawab historis dalam pemanasan global. Dengan menarik diri dari Perjanjian Paris, AS melepaskan tanggung jawabnya dalam mendukung dekarbonisasi global.

Richard Klein, peneliti dari Stockholm Environment Institute, menyebut keputusan ini sebagai "pengabaian terhadap kerja sama internasional," yang secara de facto menghapus kontribusi AS untuk mencapai target pengurangan emisi global.

Baca Juga: Multitasking Lancar dan Baterai Awet! Ini 4 Laptop AMD Ryzen 7 yang Wajib Kamu Miliki

Menurut Harjeet Singh dari Satat Sampada Climate Foundation, keputusan ini memberi sinyal negatif kepada negara lain untuk melemahkan komitmen iklim mereka. Momentum aksi iklim yang seharusnya terus didorong kini justru mengalami hambatan besar. Negara-negara penghasil emisi tinggi, termasuk Cina, berpotensi mengendurkan komitmen mereka dalam mitigasi perubahan iklim.

Dampak terhadap Indonesia

Indonesia, sebagai salah satu negara yang berkomitmen terhadap Perjanjian Paris, juga menghadapi tantangan besar akibat keputusan AS. Sebagai negara yang bergantung pada pendanaan internasional untuk proyek-proyek transisi energi dan mitigasi iklim, mundurnya AS membuka potensi hambatan dalam aliran investasi hijau ke Indonesia.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menyatakan bahwa jika pendanaan dari AS terhambat, Indonesia harus mencari alternatif sumber pendanaan lain.

Baca Juga: Pagar Laut di Tangerang: Ujian Nyata untuk Kabinet Merah Putih

Namun, mencari mitra baru tidaklah mudah. Pasar investasi energi hijau sangat bergantung pada stabilitas dan komitmen internasional. Ketika salah satu pemain utama seperti AS mundur, hal ini memengaruhi kepercayaan investor terhadap keberlanjutan proyek hijau di negara berkembang seperti Indonesia.

Selain itu, kebijakan “drill, baby, drill” yang dicanangkan Trump untuk memperluas eksploitasi bahan bakar fosil turut memberikan tekanan tambahan pada upaya transisi energi global. Dengan harga bahan bakar fosil yang lebih kompetitif akibat kebijakan ini, negara-negara seperti Indonesia yang sedang berupaya mendorong energi terbarukan akan menghadapi tantangan ekonomi dan daya saing.

Dampak pada Diplomasi dan Kepemimpinan Iklim

Mundurnya AS dari Perjanjian Paris juga menimbulkan efek domino dalam diplomasi internasional. Ketidakhadiran AS sebagai pemimpin global melemahkan upaya kolektif dalam menekan negara-negara penghasil emisi besar lainnya.

Baca Juga: Multitasking Lancar dan Baterai Awet! Ini 4 Laptop AMD Ryzen 7 yang Wajib Kamu Miliki

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X