Uni Eropa dan Cina, dua penghasil emisi terbesar dunia, berpotensi mengisi kekosongan kepemimpinan dalam KTT Iklim. Meski demikian, tantangannya tetap besar. Seperti yang diakui oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Guo Jiakun, dunia membutuhkan kolaborasi aktif untuk mempromosikan transisi menuju teknologi rendah karbon.
Kembalinya Trump dengan agenda yang pro-industri fosil menimbulkan kekhawatiran besar akan percepatan krisis iklim global. Namun, perlawanan terhadap kebijakan ini tidak surut. Di tingkat lokal, banyak kota dan negara bagian di AS tetap berkomitmen pada pengurangan emisi dan transisi energi bersih. Inisiatif seperti ini menjadi harapan kecil di tengah ancaman besar.
Krisis iklim adalah tantangan global yang membutuhkan kerja sama lintas batas. Tanpa Amerika, perjuangan ini tentu lebih berat. Namun, dunia tidak bisa menunggu.
Seperti kata pepatah, "Semua perubahan besar dimulai dengan langkah kecil." Bagi negara-negara lain, pesan ini adalah panggilan untuk bertindak lebih keras, lebih cepat, dan lebih tegas demi bumi yang lebih layak huni bagi generasi mendatang.**
Artikel Terkait
Hening Parlan Raih Planet Award 2024, Inspirasi Hijau Indonesia untuk Dunia
Mangrove Hancur, Ekosistem Laut Terancam: Jeritan Warga Pulau Pari yang Viral di Media Sosial
Mangrove, Solusi Alami Menyelamatkan Bumi dari Krisis Iklim
RUU Keadilan Iklim, Tanggung Jawab Negara yang Tak Bisa Ditunda
Ketika Trump Pilih Minyak, Dampaknya Terhadap Solidaritas Iklim Global dan Masa Depan Investasi Hijau di Indonesia
Kelompok Miskin di Tengah Krisis Iklim, Rentan dan Terlupakan