Salah satu contoh yang bisa kita lihat adalah Hening Parlan, Koordinator GreenFaith, yang sangat aktif dalam isu-isu lingkungan.
Begitu juga dengan Khalisa Khalid, Koordinator PEA Greenpeace, yang turut menggerakkan isu lingkungan di tingkat nasional.
Bahkan, di kancah internasional, kita mengenal sosok Greta Thunberg yang telah menjadi ikon global dalam perjuangan melawan krisis iklim.
Hening Parlan, dalam sebuah podcast, pernah mengungkapkan dengan lugas bahwa "Indonesia merupakan sebuah negara yang denial terhadap iklim dan itu fakta." Pernyataan ini seolah menjadi tamparan keras bagi kita semua.
Bagaimana bisa, negara yang kaya akan sumber daya alam ini malah terjebak dalam penyangkalan terhadap krisis iklim yang semakin nyata?
Nah, inilah peran penting perempuan seperti Hening yang tak segan mengkritisi kebijakan negara terkait lingkungan dan terus menyuarakan kepedulian terhadap bumi kita.
Baca Juga: Sandiaga Uno: Konser Bruno Mars di Jakarta Bakal Saingi Taylor Swift di Singapura
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Tentu saja, solusi tidak bisa hanya datang dari satu pihak.
Pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat luas, semuanya harus berperan.
Kebijakan iklim yang sensitif gender perlu segera diimplementasikan. Ini bukan hanya tentang menambah jumlah perempuan dalam diskusi, tetapi juga tentang memastikan bahwa perspektif perempuan benar-benar diintegrasikan dalam setiap langkah mitigasi krisis iklim.
Pendidikan dan kesadaran publik juga harus ditingkatkan. Banyak orang yang masih memandang isu perubahan iklim sebagai sesuatu yang jauh dan tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka, padahal dampaknya sudah dirasakan di mana-mana, terutama oleh perempuan.
Akhirnya, kita juga harus mendukung dan memberikan ruang bagi perempuan yang ingin terlibat dalam gerakan lingkungan.
Jangan sampai stigma dan norma kultural membatasi mereka untuk berperan aktif. Justru, kita harus mendorong mereka untuk terus bersuara dan memperjuangkan isu-isu yang sering kali dianggap remeh ini.