Ironisnya, meskipun perempuan sangat rentan terhadap dampak krisis iklim, akses mereka dalam diskusi dan pengambilan keputusan terkait mitigasi krisis iklim masih sangat terbatas.
Seolah-olah, suara mereka tidak dihargai dalam ruang-ruang yang penting.
Andi Pratiwi, seorang peneliti yang mendalami isu ini, menunjukkan dalam analisisnya pada 2023 bahwa kebijakan iklim di Indonesia masih jauh dari kata "sensitif gender".
Baca Juga: Gara-Gara Pelihara Ikan Aligator Gar, Kakek Piyono di Malang Divonis 5 Bulan Penjara
Jadi, selain harus menghadapi dampak langsung dari krisis iklim, perempuan juga dihadapkan pada kendala struktural yang membatasi mereka untuk ikut terlibat dalam pengambilan keputusan.
Hasil penelitian PPIM UIN Jakarta yang dirilis pada 2023 juga mendukung temuan ini.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kesadaran gender di kalangan umat Islam di Indonesia masih rendah, dengan perempuan sering kali memiliki keterbatasan dalam tampil di ranah publik.
Wawancara dengan aktivis perempuan di organisasi keagamaan Islam memperlihatkan bahwa ada banyak halangan yang mereka hadapi, baik secara kultural maupun struktural.
Keterlibatan perempuan dalam gerakan peduli lingkungan juga masih tergolong rendah.
Penelitian PPIM UIN Jakarta mengenai Gerakan Green Islam di Indonesia menemukan bahwa dari 142 organisasi lingkungan berbasis keagamaan Islam, hanya 23% di antaranya yang melibatkan perempuan.
Sisanya, 77%, didominasi oleh laki-laki. Bukankah ini cukup mengejutkan?
Padahal, perempuan memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjaga keseimbangan lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Namun, ada secercah harapan. Seiring dengan semakin berkembangnya diskursus tentang kesetaraan gender, semakin banyak perempuan yang mulai vokal mengadvokasi isu-isu sosial, termasuk isu lingkungan.