Suara Iman di Ruang Kebijakan
Salah satu pesan terkuat dari Bangkok adalah perlunya menghadirkan suara iman di ruang kebijakan. Selama ini, keputusan iklim sering terjebak dalam kompromi politik dan kepentingan ekonomi jangka pendek.
“Agama seharusnya menjadi penyeimbang, bukan bagian dari politisasi. Ia harus berani menegur negara ketika rakyat kecil dikorbankan demi keuntungan segelintir pihak,” tegas Hening.
Krisis iklim memang bisa memecah belah, tetapi juga bisa menyatukan. Saat banjir datang, bencana tidak pernah bertanya apakah korban beragama Islam, Kristen, Hindu, atau Buddha.
“Di situlah iman menemukan maknanya: solidaritas universal demi kehidupan yang berkelanjutan,” ujarnya.
Baca Juga: “Mental Stunting” Pejabat
Hening menutup refleksinya dengan sebuah ajakan yang membekas.
“Umat beragama tidak boleh berhenti pada ritual. Tugas kita adalah menghidupkan doa dalam bentuk panel surya, khutbah yang menyadarkan, solidaritas lintas iman, hingga keberanian menegur penguasa yang rakus. Menjaga bumi bukan sekadar aktivisme, melainkan ibadah,” pungkasnya.***
Artikel Terkait
GreenFaith Indonesia dan GPIB Teken MoU Gerakan Gereja Ramah Lingkungan
Draw the Line: Seruan Lintas Iman untuk Transisi Energi Berkeadilan Menuju COP30
Tagilom: Upholding Peace from Ternate for the World
From Hashtags to Real Action: It’s Time for Youth to Lead Change
Perempuan ‘Aisyiyah Jadi Garda Depan Gerakan Energi Berkelanjutan
Faith, Climate Crisis, and the Moral Responsibility of Religious Communities