HUKAMANEWS GreenFaith — Di tengah krisis iklim dan kian renggangnya solidaritas sosial, upaya lintas iman menemukan ruang baru untuk menghadirkan cahaya perubahan. Kamis (11/9), Ashoka Indonesia bersama Eco Bhinneka Muhammadiyah dan GreenFaith Indonesia meluncurkan buku Spiritual Changemakers: Lentera Perubahan dari Keberagaman untuk Bumi dan Kemanusiaan di Jakarta.
Buku ini merekam jejak para pembaharu spiritual yang bergerak dalam diam, namun menorehkan dampak nyata bagi bumi dan sesama.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Prof. Abdul Mu’ti, dalam sambutannya menekankan bahwa spiritualitas harus melampaui batas keyakinan pribadi.
“Spiritualitas tidak berhenti pada keyakinan, tetapi menjadi energi perubahan sosial yang nyata,” ujarnya.
Baca Juga: Mahfud MD Bongkar Kontroversi Ferry Irwandi vs Dansat Siber TNI: Lebih Baik Tidak Diperpanjang
Menurut dia, nilai kemanusiaan, kebahagiaan, dan kebebasan adalah fondasi yang mampu menumbuhkan simpati serta empati lintas kelompok.
Gagasan kolaborasi lintas iman ini bermula pada 2020. Nani Zulminarni, Direktur Regional Ashoka Asia Tenggara, membayangkan komunitas berbasis iman yang bersatu dalam gerakan sosial.
Dua tahun kemudian, lokakarya pertama berhasil mempertemukan lebih dari 70 pegiat. Dari situ, lahir beragam aksi nyata—mulai dari membersihkan sungai hingga gerakan green church—yang menjadi fondasi lahirnya buku ini.
“Buku ini berbasis kehidupan nyata, dengan empati dan akal sehat sebagai pijakan perubahan,” kata Nani.
Ia menyebut kisah yang terekam di dalamnya bukan sekadar dokumentasi, tetapi cermin bagaimana spiritualitas bisa menjadi katalis gerakan sosial.
Hening Parlan, Direktur Program Eco Bhinneka Muhammadiyah sekaligus Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, menegaskan buku tersebut sebagai “saksi” perjalanan para pembaharu spiritual.
“Mereka bekerja dalam senyap, tetapi mampu membawa cahaya bagi perubahan yang adil, damai, dan lestari,” ujarnya.
Suara dari Lapangan
Peluncuran buku juga dirangkai dengan diskusi menghadirkan aktivis lingkungan Prigi Arisandi, Parid Ridwanuddin dari GreenFaith Indonesia, dan Pdt. Meilany Risamasu dari GPIB Karang Satria, Bekasi.
Pdt. Meilany menekankan pentingnya empati terhadap seluruh ciptaan. Ia mencontohkan gerakan green church sebagai wujud iman yang peduli lingkungan. Sementara itu, Prigi mengingatkan bahaya mikroplastik sekaligus mendorong anak muda untuk bergerak.
Artikel Terkait
Perjuangan Warga Pulau Pari Menolak Tenggelam di Tengah Krisis Iklim
Kondisi Pulau Pari Saat Ini: Pernah Makmur Kini Terjepit Abrasi, Reklamasi, dan Kriminalisasi
Ekoteologi dan Krisis Lingkungan: Menemukan Titik Temu Agama dan Bumi
Sidang Gugatan Iklim Warga Pulau Pari terhadap Holcim Dimulai di Swiss
Air Wudhu, Cahaya Surya, dan Jelantah: Ikhtiar Ekologi dari PRM Getassrabi Kudus