HUKAMANEWS GreenFaith – Empat warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, menempuh jalur hukum yang berani: menggugat perusahaan semen terbesar di dunia, Holcim, di pengadilan Swiss. Mereka menuntut pertanggungjawaban atas kerusakan yang ditimbulkan perubahan iklim terhadap pulau kecil mereka, yang kian tergerus naiknya permukaan air laut.
Pada Rabu (3/9), dua penggugat, Asmania dan Arif Pujianto, hadir di sidang perdana di Zug, kota tempat Holcim berkantor pusat. Mereka datang dengan membawa harapan besar: agar suara kecil dari pulau yang terancam tenggelam itu didengar di jantung industri global.
“Ini seperti pertarungan David melawan Goliath,” kata Asmania, 42 tahun, ibu tiga anak yang kehilangan mata pencahariannya sebagai pembudidaya rumput laut akibat banjir air asin.
“Kami adalah korban perubahan iklim. Yang dipertaruhkan adalah kelangsungan hidup kami.”
Pulau Pari hanya seluas 42 hektar, namun 11 persen daratannya telah hilang dalam beberapa tahun terakhir. Air laut yang naik tak hanya menenggelamkan rumah, tetapi juga menghancurkan sumber penghidupan utama: budidaya ikan dan rumput laut. Jika tren ini berlanjut, para peneliti memperkirakan pulau itu bisa hilang seluruhnya pada 2050.
Bagi warga, perubahan iklim bukanlah konsep abstrak, melainkan kenyataan sehari-hari.
“Banjir kini semakin sering, semakin tinggi. Kami hidup dengan ketakutan, apakah rumah ini masih ada esok hari,” ujar Arif.
Gugatan Bersejarah
Keempat penggugat menuntut kompensasi sebesar 3.600 franc Swiss (sekitar Rp 110 juta) per orang. Jumlah itu, menurut mereka, bukan sekadar ganti rugi, melainkan simbol keadilan.
Mereka juga menuntut Holcim melakukan tindakan konkret, yakni rehabilitasi lingkungan dengan penanaman mangrove, pembangunan pemecah gelombang, dan pengurangan emisi karbon secara drastis—43 persen pada 2030 dan 69 persen pada 2040.
Holcim dianggap bertanggung jawab karena selama puluhan tahun menjadi salah satu penghasil emisi CO₂ terbesar di dunia. Menurut lembaga Swiss Church Aid (HEKS) yang mendampingi warga, Holcim menyumbang 0,42 persen emisi industri global sejak 1750—angka yang tampak kecil, tetapi berdampak besar terhadap pulau-pulau rentan seperti Pari.
“Kontrasnya mencolok,” kata Yvan Maillard-Ardenti dari LSM Swiss Church Aid HEKS yang membantu penduduk pulau tersebut.
“Pulau ini semakin tenggelam, sementara di Zug, kekayaan besar terkumpul dari perusahaan multinasional yang tak pernah membayar kompensasi iklim sepeser pun.”
Holcim Membela Diri
Pihak Holcim menegaskan, pengadilan sipil bukan tempat menentukan “siapa boleh mengeluarkan berapa banyak CO₂”. Mereka menyebut isu itu seharusnya menjadi ranah politik dan legislatif. Namun, perusahaan itu menegaskan komitmennya untuk mencapai target nol emisi bersih pada 2050.
Artikel Terkait
Kondisi Pulau Pari Saat Ini: Pernah Makmur Kini Terjepit Abrasi, Reklamasi, dan Kriminalisasi
Demi Keadilan Iklim, Dua Warga Pulau Pari Terbang ke Swiss Hadapi Raksasa Semen Holcim
Menggugat ke PTUN Jakarta dan Pengadilan Swiss, Warga Pulau Pari Jadi Simbol Perlawanan Krisis Iklim
Jadi Gugatan Iklim Pertama di Swiss, Suara Kecil Pulau Pari Menantang Raksasa Semen Holcim
Dari Al Qur’an hingga Laudato Si: Pesan Lintas Iman untuk Pulau Pari
Faith for Pulau Pari: Iman, Keadilan, dan Pertarungan Menolak Tenggelam
Ekoteologi dan Krisis Lingkungan: Menemukan Titik Temu Agama dan Bumi