Ironi Nikel: Hijau di Negeri Orang, Hitam di Negeri Sendiri; Potret Dosa Ekologi Tambang Nikel Indonesia

photo author
- Senin, 30 Juni 2025 | 21:47 WIB
ilustrasi baterai mobil listrik
ilustrasi baterai mobil listrik

Serikat Pekerja Industri Morowali (SPIM) berulang kali menuntut peningkatan standar keselamatan kerja, namun belum direspons maksimal oleh pemerintah maupun perusahaan.

“Keselamatan pekerja seharusnya prioritas. Tapi praktiknya, keselamatan hanya jadi formalitas di atas kertas,” tegas Arif Rahman, Ketua SPIM.

Narasi Hijau yang Semu

Pemerintah terus menegaskan hilirisasi nikel sebagai strategi menambah nilai ekonomi dan mengerek posisi Indonesia dalam rantai pasok global. Namun, banyak pengamat menilai retorika “logam hijau” ini tidak diimbangi perlindungan lingkungan yang memadai.

“Kalau hanya mengejar produksi tanpa menata regulasi dan perlindungan masyarakat sekitar tambang, maka transisi energi ini hanya ganti baju polusi,” kata Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Di sisi lain, negara-negara konsumen kendaraan listrik di Eropa, Amerika, hingga Tiongkok berbangga diri memamerkan keberhasilan menurunkan emisi karbon. Namun, polusi dan penderitaan ditanggung oleh negara produsen seperti Indonesia. Inilah wajah ironis dari perdagangan nikel global.

Para ahli lingkungan meminta pemerintah meninjau ulang semua izin usaha pertambangan, menegakkan standar perlindungan lingkungan, dan memperketat audit keselamatan kerja. Transparansi perusahaan tambang dalam laporan emisi dan pengelolaan limbah juga harus diwajibkan secara ketat.

Masyarakat sipil berharap negara tidak sekadar menjadi penonton atau pemungut pajak, tetapi hadir sungguh-sungguh melindungi hak warga terdampak dan memastikan kompensasi setimpal.

“Transisi energi tidak boleh dibangun di atas penderitaan rakyat dan kerusakan bumi,” kata Aryanto Nugroho, peneliti Publish What You Pay Indonesia.

Jika tidak, maka narasi energi hijau hanya menjadi ilusi. Sementara masyarakat di sekitar tambang terus menanggung kabut polusi, penyakit, konflik lahan, dan kehilangan mata pencaharian.

Energi bersih seharusnya berdiri di atas keadilan sosial dan perlindungan lingkungan. Tanpa itu, masa depan kendaraan listrik bebas emisi hanya akan menjadi simbol kosong, dan Indonesia terus membayar harga mahal dari dosa-dosa ekologis tambang nikel.***

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X