Ironi Nikel: Hijau di Negeri Orang, Hitam di Negeri Sendiri; Potret Dosa Ekologi Tambang Nikel Indonesia

photo author
- Senin, 30 Juni 2025 | 21:47 WIB
ilustrasi baterai mobil listrik
ilustrasi baterai mobil listrik

HUKAMANEWS GreenFaith — Euforia kendaraan listrik sebagai simbol masa depan bersih dan rendah emisi terus menguat di berbagai belahan dunia. Di balik teknologi canggih ini, baterai lithium-ion berperan sebagai penopang utama. Dan salah satu mineral vital penyusunnya adalah nikel, yang sebagian besar dipasok dari Indonesia — negeri dengan cadangan nikel terbesar di dunia, mencapai 55 juta ton menurut data Kementerian ESDM (2025).

Pemerintah Indonesia bahkan berambisi menjadikan negeri ini sebagai raja baterai dunia melalui program hilirisasi nikel. Namun, di balik klaim gemilang itu, muncul ironi. Eksploitasi tambang nikel justru merusak lingkungan, mengorbankan keselamatan pekerja, hingga merampas ruang hidup masyarakat adat.

Ketika negara-negara maju merayakan kendaraan listrik bebas emisi, masyarakat di sekitar tambang nikel justru hidup di tengah polusi, konflik agraria, dan bahaya kesehatan.

Luka di Tanah Tambang

Halmahera dan Morowali adalah dua potret nyata dari wajah gelap industri nikel Indonesia. Di Halmahera, aktivitas tambang menggerus kawasan adat, merampas lahan pertanian, dan mencemari sumber air bersih warga.

Laporan Climate Rights International (2024) menyebutkan, ekspansi tambang di wilayah ini bukan hanya mencemari tanah dan udara, tetapi juga memicu konflik kepemilikan lahan yang belum pernah benar-benar diselesaikan pemerintah.

“Air sungai kami sudah tidak bisa diminum. Dulu bersih, sekarang keruh, dan sering berbau,” kata Abdul, warga Halmahera Tengah.

Tak jauh berbeda, Morowali di Sulawesi Tengah juga menghadapi krisis lingkungan akibat tambang dan smelter nikel. Warga di Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota berulang kali melaporkan meningkatnya penyakit pernapasan akibat paparan debu halus (PM2.5, PM10) serta gas sulfur dioksida (SO2) dari cerobong pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menopang kawasan industri nikel.

Data riset Mongabay Indonesia mencatat tren kenaikan penyakit ISPA dan asma di wilayah tersebut. “Anak-anak sering batuk dan sesak napas. Dulu tidak pernah separah ini,” tutur Maria, warga Bahomakmur.

Di kawasan pesisir, laporan Harian Kompas juga menyoroti dampak penambangan yang memanaskan suhu air laut, merusak terumbu karang, dan menurunkan hasil tangkapan nelayan. Kerusakan ekosistem ini mengancam sumber penghidupan ribuan keluarga nelayan.

Nyawa Pekerja di Ujung Risiko

Ironi nikel tidak berhenti pada soal lingkungan. Para pekerja tambang dan smelter pun menghadapi risiko kecelakaan kerja yang serius.

Investigasi 7 News Spotlight menayangkan kondisi keselamatan di Morowali yang memprihatinkan. Prosedur keamanan dinilai minim, sementara tekanan produksi terus meningkat demi mengejar target hilirisasi.

Data Tempo.co mencatat, sepanjang 2019 hingga awal 2025, terjadi sedikitnya 104 kecelakaan kerja di kawasan industri Morowali. Sebagian korban meninggal, sebagian lagi mengalami cacat permanen.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X