HUKAMANEWS GreenFaith - Raja Ampat, mahkota segitiga karang dunia, lagi-lagi tercabik ambisi tambang. Pemerintah memang telah mencabut izin empat perusahaan tambang nikel di kawasan ini, tetapi kerusakan yang terlanjur terjadi sulit disangkal.
Pulau-pulau kecil yang seharusnya menjadi benteng keanekaragaman hayati, berubah menjadi arena eksploitasi mineral. Padahal, Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2023 jelas menegaskan status Raja Ampat sebagai kawasan strategis nasional konservasi. Sayangnya, penegakan hukum sering tertatih mengejar laju serakah tambang.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM sempat menyebut tambang di Raja Ampat “tidak ada masalah”, meski fakta di lapangan berbicara lain. Kolam pengendapan limbah yang jebol, aktivitas tambang di kawasan suaka alam, hingga pengerukan hutan tanpa izin mewarnai laporan Kementerian Lingkungan Hidup. PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham adalah empat perusahaan yang akhirnya dicabut izinnya.
Namun publik terlanjur dibuat geram. Pasalnya, aksi sekelompok anak muda Raja Ampat dan aktivis Greenpeace di Jakarta, yang menuntut penyelamatan pulau mereka dari tambang, malah berujung penangkapan. Video protes itu viral di media sosial dan memantik solidaritas publik.
Suara Paulina, perempuan muda dari Kampung Kabare, menyayat hati. Ia menyaksikan sendiri bagaimana pulau yang dulu menjadi sumber pangan dan kebanggaan warganya, kini tercemar limbah tambang berwarna cokelat. Terumbu karang rusak, ikan menjauh, laut berubah menjadi keruh di musim pasang-surut.
“Bahari kami berubah menjadi bahari tambang,” keluh Paulina.
Tak hanya mencederai alam, nikel juga mengoyak sendi sosial masyarakat. Matias Mambraku, pemandu wisata lokal, menuturkan bagaimana tambang memecah belah warga, menciptakan konflik horizontal antara kelompok yang menolak tambang dengan mereka yang berharap pekerjaan dari perusahaan.
“Dulu kami baku jaga, baku sayang. Sekarang baku pukul,” ujarnya getir.
Deforestasi 500 Ha Hutan
Greenpeace mencatat kerusakan ekologis sudah telanjur parah. Deforestasi akibat tambang nikel menelan lebih dari 500 hektare hutan alami, terumbu karang di sekitar Pulau Gag dan Kawe terganggu, dan gumpalan lumpur mencemari pesisir. Analisis citra satelit bahkan merekam kekeruhan di sekitar Pulau Manuran setelah hujan, menandakan kerusakan tidak main-main.
Ironisnya, tambang-tambang itu berdiri di tengah Raja Ampat yang diakui dunia sebagai surga laut, rumah bagi lebih dari 553 spesies karang yang merupakan 75 persen spesies karang dunia, serta ribuan spesies ikan, moluska, dan burung endemik.
Pemerintah berjanji memperketat pengawasan PT Gag Nikel, satu-satunya perusahaan yang izinnya belum dicabut. Presiden sendiri, melalui Menteri ESDM, menekankan bahwa aspek lingkungan dan reklamasi harus benar-benar diperhatikan. Namun publik tak bisa sekadar menaruh harapan di atas kertas.
Raja Ampat terlalu berharga untuk sekadar dijadikan lahan pertaruhan nikel. Di tengah kerusakan yang sudah terjadi, langkah penyelamatan harus tegas dan berkeadilan. Kalau tidak, dosa-dosa tambang ini akan terus menghantui, meninggalkan luka mendalam di “surga kecil” yang semestinya kita jaga bersama.***
Artikel Terkait
Menyusul Raja Ampat, Gubernur Anwar Hafid Cabut Izin Tambang di Palu, Warga Akhirnya Bisa Bernapas Lega Usai 8 Bulan Protes
Raja Ampat Nyaris Rusak, 4 Tambang Dihapus! Tapi Kenapa PT Gag Nikel Masih Aman? Ini Jawaban Menteri Bahlil
Green Faith Indonesia: Tambang di Pulau Kecil Langgar Konstitusi dan Ajaran Agama
Tambang Nikel Raja Ampat Kena Semprit! KPK Turun Tangan, Presiden Prabowo Langsung Cabut 4 Izin Sekaligus
Raja Ampat Terancam Tambang, 4 Izin Dicabut, Apakah Cukup?