HUKAMANEWS - Langkah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang kembali menghidupkan kebijakan tarif impor tinggi jadi sorotan besar dalam lanskap ekonomi global.
Dengan tarif mencapai 32 persen, Indonesia jadi salah satu negara yang ikut terdampak, khususnya di sektor ekspor unggulan seperti tekstil dan alas kaki.
Alih-alih merespons dengan langkah balasan yang konfrontatif, pemerintah Indonesia justru memilih jalur diplomasi.
Keputusan ini tak hanya soal menjaga hubungan bilateral, tapi juga bagian dari strategi untuk menahan gejolak ekonomi domestik yang bisa terjadi akibat perang dagang berkepanjangan.
Baca Juga: Efek Domino Kebijakan Tarif Impor Trump, Dunia di Ambang Krisis PHK dan Resesi Global
Namun, keputusan ini juga memunculkan tanda tanya besa, apakah Indonesia siap menggantungkan harapan pada negosiasi, atau sebaiknya mulai mengatur ulang arah peta dagangnya?
Karena di balik sikap diplomatis itu, ada tantangan nyata yang menunggu di lapangan.
Pemerintah, lewat Menko Perekonomian, menegaskan tak akan membalas kebijakan Trump dengan tarif tandingan.
Sebagai gantinya, Indonesia akan mengirim delegasi tingkat tinggi untuk bernegosiasi langsung dengan Washington.
Langkah ini diambil demi menjaga stabilitas jangka pendek dan menghindari risiko konflik perdagangan yang justru bisa memperburuk kondisi industri dalam negeri.
Tapi langkah ini bukan tanpa risiko.
Industri seperti tekstil dan alas kaki, yang selama ini sangat mengandalkan ekspor ke AS, terancam kehilangan daya saing.
Kenaikan tarif membuat harga produk Indonesia jadi kurang menarik di pasar Amerika.
Kalau tak segera diatasi, ini bisa berujung pada penurunan volume ekspor, pemangkasan produksi, hingga pengurangan tenaga kerja.