Trump Naikkan Tarif 32 Persen, Pemerintah Pilih Jalur Damai tapi Risiko Dagang Indonesia Tetap Mengintai

Artinya, ancaman ini bukan cuma soal angka ekspor yang menurun, tapi juga dampaknya langsung ke pekerja dan pelaku UMKM.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah dan pelaku usaha perlu gesit mencari pasar alternatif.

Banyak analis sepakat bahwa ini adalah momen yang tepat bagi Indonesia untuk memperluas jaringan dagangnya.

Pasar Timur Tengah dan Afrika, yang selama ini kurang tergarap maksimal, bisa menjadi peluang baru yang menjanjikan.

Baca Juga: Nilai Tukar Rupiah Melemah pada Senin Pagi, Imbas Kebijakan Tarif resiprokal Trump

Dengan menjajaki pasar non-tradisional, Indonesia tak hanya bisa mengurangi ketergantungan pada AS, tapi juga membuka peluang ekspor produk-produk baru yang lebih spesifik kebutuhan.

Selain diversifikasi pasar, kerja sama regional seperti ASEAN juga bisa jadi tameng kuat dalam menghadapi tekanan perdagangan global.

Langkah Malaysia yang mengajak negara-negara ASEAN untuk merespons secara kolektif kebijakan tarif AS patut dicontoh.

Indonesia bisa mengambil peran strategis dalam memimpin inisiatif semacam ini agar kawasan punya posisi tawar yang lebih kuat di mata mitra dagang besar.

Baca Juga: Gelombang Protes Meluas di AS, Ratusan Ribu Warga Bangkit Tolak Kuasa Trump dan Elon Musk

Namun, yang tak kalah penting adalah soal ketahanan ekonomi jangka panjang.

Ketergantungan pada ekspor bahan mentah atau barang dengan nilai tambah rendah sudah saatnya diubah.

Indonesia perlu mendorong industrialisasi berbasis inovasi dan teknologi yang menghasilkan produk dengan kualitas tinggi dan daya saing global.

Inisiatif ini harus didukung dengan peningkatan sumber daya manusia serta investasi serius di bidang riset dan pengembangan.

Tantangan eksternal seperti tarif Trump juga menyoroti perlunya memperhatikan dampak sosial dalam negeri.