HUKAMANEWS - Ketika negara bicara soal penghematan, rakyat kecil diminta berlapang dada, sementara para pejabat justru kerap tampil dengan tunjangan dan fasilitas serba mewah. Inilah wajah paradoks demokrasi kita hari ini: keadilan fiskal yang timpang di tengah jargon kesejahteraan untuk semua.
Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam tulisan analisisnya mengurai bagaimana jurang antara kebijakan fiskal dan realitas sosial makin melebar, menempatkan rakyat sebagai penanggung beban terbesar. Mantan ketua Komisi III DPR RI ini menegaskan, jika keadilan fiskal diabaikan, maka martabat demokrasi ikut dipertaruhkan. Sebab, demokrasi kehilangan legitimasi ketika pajak hanya menjadi alat memperkaya elite sedangkan rakyat yang seharusnya menjadi subjek utama, justru terpinggirkan.
Berikut ini catatan lengkapnya:
***
GELOMBANG demonstrasi yang merebak di berbagai kota belakangan ini bukan sekadar riak protes sesaat. Itu adalah alarm keras tentang ketidakpuasan publik terhadap kesenjangan yang kian mencolok. Di satu sisi, rakyat harus menanggung beban pajak yang semakin berat. Di sisi lain, para pejabat negara menikmati tunjangan dan fasilitas dengan jumlah yang fantastis.
Pemerintah bersama DPR memang sudah mengambil satu langkah dengan menghentikan tunjangan rumah Rp50 juta per bulan bagi anggota dewan. Namun, apakah itu cukup? Jelas tidak. Itu baru secuil dari daftar panjang tuntutan rakyat. Masalah keadilan fiskal jauh lebih besar daripada sekadar tunjangan rumah. Ia menyangkut keseluruhan desain gaji, fasilitas, dan sistem keuangan negara yang selama ini lebih berpihak pada kenyamanan elite ketimbang kesejahteraan publik.
Dalam nalar sederhana, pejabat publik seharusnya menjadi teladan dalam menanggung kewajiban. Mereka mestinya berada di garis depan dalam membayar pajak. Namun kenyataan berkata lain. Berdasarkan PP Nomor 80 Tahun 2010, pajak penghasilan pejabat justru ditanggung negara. Ironi ini kian pahit ketika rakyat kecil tetap diwajibkan membayar pajak dengan tarif yang makin menekan. Empati sulit tumbuh, sebab pengalaman dasar membayar pajak pun tidak mereka rasakan.
Baca Juga: 'Colek' Prabowo, Hotman Paris Desak Gelar Perkara Nadiem di Istana
Minimnya transparansi memperlebar jurang ketidakpercayaan. Anggota DPR disebut bisa mengantongi hingga Rp200 juta per bulan. Pihak dewan membantah, menyebut jumlahnya tak sampai Rp100 juta. Angka yang simpang siur itu mempertegas kebutuhan akan keterbukaan. Rakyat berhak tahu secara jelas berapa sebenarnya gaji, tunjangan, dan fasilitas pejabat publik. Tanpa transparansi, pejabat mudah tergelincir pada pamer gaya hidup mewah, seakan hidup di negeri yang berbeda dengan rakyat yang harus berjibaku memenuhi kebutuhan dasar.
Karena itu, reformasi fiskal bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Gaji dan tunjangan pejabat harus dirumuskan ulang dengan ukuran yang adil. Salah satu gagasan yang bisa dipertimbangkan adalah mengaitkan penghasilan pejabat dengan UMR setempat. Dengan begitu, pejabat tidak hanya menikmati hak istimewa, tetapi juga merasakan denyut nadi kehidupan rakyat. Keadilan fiskal harus mengembalikan pejabat ke bumi yang sama dengan rakyatnya.
Persoalan lain yang mengusik rasa keadilan ialah pensiun seumur hidup. Tidak masuk akal seorang anggota DPR yang hanya bertugas lima tahun, atau menteri yang menjabat sepuluh tahun, mendapat pensiun selamanya—bahkan bisa diwariskan. Sementara jutaan buruh, guru honorer, dan pekerja informal hidup tanpa jaminan hari tua. Lebih adil jika pejabat hanya menerima uang penghargaan sesuai masa pengabdian. Pensiun seumur hidup bagi pejabat adalah privilese yang sulit dibenarkan, baik secara moral maupun demokratis.
Baca Juga: Tunjangan Rumah DPRD DKI Rp70 Juta, Pramono Anung Pilih Menunggu Sikap Legislatif
Alasan klasik bahwa pejabat harus diberi gaji besar agar tidak tergoda korupsi juga terbukti keliru. Kasus korupsi tetap marak meski gaji dan tunjangan sudah berlipat. Yang lebih penting adalah menegakkan hukum secara tegas. Salah satu langkah kunci ialah mengesahkan undang-undang perampasan aset dengan mekanisme pembuktian terbalik. Dengan aturan itu, pejabat tidak bisa lagi menumpuk kekayaan gelap tanpa pertanggungjawaban. Kuncinya bukan memperbesar penghasilan, melainkan mempersempit ruang keserakahan.
Tetapi reformasi fiskal dan hukum saja tidak cukup. Yang lebih mendasar adalah perubahan mentalitas. Pejabat negara harus kembali pada jati diri sebagai pengemban amanat rakyat, bukan penikmat privilese. Seperti seruan Presiden Prabowo, “dengarlah suara rakyat.” Itu bukan sekadar ungkapan politis, melainkan perintah moral untuk menanggalkan hak-hak istimewa yang melukai rasa keadilan.
Rakyat sendiri telah memberi teladan. Mereka bersedia mengurangi aksi protes demi menjaga situasi tetap kondusif, meski tuntutan belum seluruhnya dipenuhi. Kini giliran pejabat yang harus menahan diri: dari godaan hidup mewah, dari privilese berlebihan, dan dari sikap defensif yang menutup diri dari kritik.