Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong, Ketika Jalan Pintas Kekuasaan Menelikung Etika Hukum

photo author
- Jumat, 1 Agustus 2025 | 18:55 WIB
Ilustrasi. Prabowo Subianto (tengah), Tom Lembong (kiri), dan Hasto Kristyanto (Kanan). Pemberikan amnesti Hasto dan abolisi Tom Lembong oleh Presiden Prabowo mengundang kontroversi.
Ilustrasi. Prabowo Subianto (tengah), Tom Lembong (kiri), dan Hasto Kristyanto (Kanan). Pemberikan amnesti Hasto dan abolisi Tom Lembong oleh Presiden Prabowo mengundang kontroversi.

 

HUKAMANEWS -  Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong memunculkan perdebatan serius di ruang publik. Meski berlandaskan konstitusi, kebijakan ini dinilai memberi ruang bagi tafsir hukum yang lentur di tangan kekuasaan.

Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C. Zulkifli, SH., MH., mengingatkan bahwa amnesti dan abolisi seharusnya tidak menjadi pintu keluar instan bagi elite yang tersangkut kasus hukum. Mantan Ketua Komisi III DPR ini menegaskan, tanpa landasan etika yang kuat, keputusan ini justru bisa menggerus kepercayaan publik terhadap hukum. Langkah ini pun menyisakan tanya: apakah keadilan masih berdiri tegak untuk semua, atau hanya menyapa mereka yang dekat dengan lingkar kekuasaan? Simak catatan lengkapnya.

***

KEPUTUSAN Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong adalah manuver politik yang tak hanya mengejutkan, tetapi juga mengusik nurani hukum bangsa. Di awal masa pemerintahannya, langkah ini menjadi sinyal kuat: bahwa hukum, dalam situasi tertentu, dapat dinegosiasikan di meja kekuasaan.

Secara konstitusional, Presiden memang memiliki wewenang untuk memberikan amnesti dan abolisi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 UUD 1945, dengan persetujuan DPR. Namun, sah secara hukum belum tentu adil secara etika. Di sinilah persoalan bermula. Publik menyaksikan bagaimana dua nama yang pernah tersangkut perkara korupsi tiba-tiba dibebaskan, sementara banyak warga biasa tetap dipenjara karena kesalahan administratif atau kemiskinan struktural.

Bukan hanya soal hukum yang diberlakukan berbeda. Yang mencemaskan, keputusan ini memberi pesan bahwa pelanggaran hukum, jika dilakukan oleh mereka yang dekat dengan kekuasaan, bisa dihapus begitu saja. Maka timbul pertanyaan mendasar: apakah keadilan masih berlaku sama bagi semua, atau hanya bagi mereka yang punya akses ke pusat kekuasaan?

Dalam konteks membangun politik, hukum, dan ekonomi yang bermartabat, Indonesia seharusnya berpijak pada prinsip dasar dalam etika negara demokrasi: hukum tidak boleh tunduk dan patuh pada kekuasaan politik. Justru kekuasaan politiklah yang harus tunduk dan patuh pada hukum. Inilah sikap hidup bernegara yang benar, yang menjadi fondasi kepercayaan rakyat terhadap institusi negara.

Luka Moral dan Preseden Buruk

Pemberian amnesti kepada Hasto—yang telah dijatuhi hukuman atas kasus suap politik dalam pencarian buronan Harun Masiku—serta abolisi bagi Tom Lembong, yang terlibat dalam dugaan korupsi kebijakan perdagangan, bukanlah sekadar tindakan administratif. Ini adalah tindakan simbolik yang menyentuh langsung urat nadi kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

Alih-alih memperkuat semangat rekonsiliasi, keputusan ini justru mengikis ingatan kolektif masyarakat atas kejahatan publik. Ia juga merusak pesan moral bahwa setiap pelanggaran harus dipertanggungjawabkan. Padahal dalam masyarakat demokratis, keadilan tidak hanya dibentuk oleh hukum tertulis, tetapi juga oleh persepsi publik terhadap integritas proses hukum itu sendiri.

Apa yang terjadi bukan sekadar pelepasan dua individu dari jerat hukum. Ini adalah pembatalan tanggung jawab moral dan sosial, penghapusan narasi tentang akibat hukum dari tindakan menyimpang di ruang kekuasaan.

Antara Kekuasaan dan Etika Publik

Dalam dunia militer, manuver hanya diambil jika memperhitungkan risiko jangka panjang. Dalam politik negara hukum, setiap langkah besar seperti amnesti dan abolisi seharusnya tidak hanya dilandasi kalkulasi kekuasaan, tetapi juga etika publik. Tanpa pertimbangan moral yang kuat, kebijakan semacam ini mudah berubah menjadi preseden buruk—menggerus kepercayaan publik terhadap negara dan hukum itu sendiri.

Pemberian pengampunan dalam konteks yang belum selesai secara hukum, dan tanpa pertanggungjawaban publik yang memadai, menciptakan kesan bahwa hukum dapat dibengkokkan untuk menyenangkan elite tertentu. Ini bukan saja berbahaya, tetapi juga mencederai semangat reformasi hukum yang selama ini diperjuangkan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X