Agenda Tersembunyi?
Layak untuk dicermati bahwa narasi ijazah palsu ini tidak hidup dalam ruang hampa. Ia muncul beriringan dengan transisi kekuasaan menuju pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Jika kita tarik benang merahnya, kampanye narasi semacam ini bukan semata menyerang Jokowi, tapi bisa menjadi upaya sistematis untuk mengganggu legitimasi pemerintahan berikutnya.
Demonstrasi dan aksi-aksi publik yang mengusung isu ini, sering kali dibungkus dengan semangat keterbukaan, namun ironisnya tidak membawa data baru. Yang justru muncul adalah nada agitasi, provokasi, dan seruan-seruan yang berpotensi menjerumuskan bangsa ke dalam kubangan instabilitas.
Pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, tidak bisa terus bersikap permisif. Demokrasi memang memberi ruang untuk berbeda pendapat, tetapi bukan untuk menyebar fitnah. Negara tidak boleh abai ketika kebebasan digunakan sebagai tameng untuk merusak. Ketegasan bukanlah musuh demokrasi, melainkan pelindung akal sehat publik.
Jalan ke Depan
Pemerintahan Prabowo-Gibran akan dihadapkan pada tantangan berat: menjaga stabilitas politik, mempercepat pemulihan ekonomi, dan memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi tujuan investasi yang menarik. Untuk itu, segala bentuk disinformasi yang melemahkan kepercayaan publik harus dilawan dengan pendekatan hukum yang tegas dan edukasi publik yang menyeluruh.
Lebih jauh lagi, elite politik kita — dari semua spektrum — perlu introspeksi. Bangsa ini tidak kekurangan persoalan substansial untuk dibahas: dari kemiskinan, pendidikan, hingga perubahan iklim. Mari kita arahkan energi politik kita pada isu-isu nyata yang menyentuh hidup rakyat banyak, bukan pada narasi-narasi busuk yang hanya menguntungkan kelompok kecil dengan agenda sempit.
Sudah saatnya kita keluar dari jebakan politik remeh-temeh. Demokrasi Indonesia tidak boleh direduksi menjadi panggung fitnah. Ia harus menjadi ruang dialektika gagasan dan integritas. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?***