analisis

Ijazah Jokowi dan Cermin Politik Kita

Selasa, 22 April 2025 | 21:02 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

 

HUKAMANEWS - Isu lama tentang keabsahan ijazah Presiden Jokowi kembali dipolitisasi. Meski telah berkali-kali dibantah oleh institusi resmi, narasi ini terus dihidupkan dengan aroma provokasi. 

Prihatin dengan kondisi ini, pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam tulisan analisis politiknya mengajak publik melihat lebih dalam mengapa fitnah semacam ini terus muncul dan siapa yang diuntungkan dari kegaduhan yang terjadi. Mantan Ketua Komisi III DPR ini juga mengajak bagaimana kita seharusnya menjaga demokrasi dari erosi nalar dan etika. 

*** 

TUDUHAN ijazah palsu terhadap Presiden ke-7 Indonesia, Ir. Joko Widodo, kembali mencuat, seakan menjadi komoditas musiman yang dihidangkan saat suhu politik meningkat. Isu ini, yang sejatinya telah berkali-kali dibantah dan dijelaskan secara terbuka oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), kembali diangkat dengan narasi seolah-olah ada skandal besar yang ditutup-tutupi. Padahal, institusi akademik yang bersangkutan telah menegaskan: Jokowi adalah alumni resmi Fakultas Kehutanan, dengan skripsi dan rekam jejak akademik yang terdokumentasi. 

Namun demikian, tuduhan ini bukan semata tentang keabsahan sebuah ijazah. Ia mencerminkan krisis yang lebih dalam: kegagalan sebagian elite politik dan segmen masyarakat dalam memaknai demokrasi dan cara beroposisi secara sehat. 

Politik yang Kehilangan Substansi 

Kita tidak hidup dalam dunia yang kekurangan akses informasi. Klarifikasi demi klarifikasi telah disampaikan. Wakil rektor UGM bahkan menyebutkan secara gamblang tahun masuk, tahun lulus, hingga judul skripsi Jokowi. Namun, sebagian pihak terus menggulirkan isu ini dengan nada insinuatif.

Dalam prinsip hukum dikenal adagium actori incumbit probatio — siapa yang mendalilkan, dialah yang wajib membuktikan. Tuduhan tanpa bukti kuat hanya akan menjadi fitnah, bukan kritik.

Sayangnya, logika politik hari ini kerap tidak berjalan beriringan dengan logika hukum ataupun etika. Tuduhan yang lemah sering justru mendapat panggung lebih luas di media sosial dan kanal-kanal digital, menciptakan distorsi persepsi publik. Politik kehilangan substansi ketika lebih sibuk menyerang personal daripada mengkritisi kebijakan. 

Bukan Kritik, Tapi Delusi 

Kita bisa menerima bahwa kritik adalah bagian dari demokrasi. Pemerintah harus dikoreksi, dikawal, dan diawasi. Namun, menyerang seorang mantan presiden — siapa pun orangnya — dengan narasi tanpa dasar hukum yang valid, bukanlah praktik oposisi yang sehat. Itu adalah delusi politik, lahir dari dendam dan kegagalan mengartikulasikan agenda perubahan secara konstruktif. 

Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa narasi ini bisa berdampak lebih luas. Ia mengikis kepercayaan terhadap institusi pendidikan, menciptakan keraguan terhadap stabilitas politik nasional, dan pada akhirnya merugikan iklim investasi. Tidak sedikit investor asing yang menjadikan kepastian hukum dan stabilitas politik sebagai parameter utama. 

Ketika narasi-narasi seperti ini terus dikapitalisasi tanpa kendali, dampaknya bukan hanya politik domestik, tapi juga reputasi Indonesia di mata dunia. 

Halaman:

Tags

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB