Eksploitasi Kekayaan Alam
Negeri ini kaya akan sumber daya alam, mulai dari tambang emas, batu bara, hingga hasil laut yang melimpah. Namun, kekayaan tersebut bukan dinikmati oleh rakyat, melainkan oleh beberapa oknum elite yang berkuasa. Dengan menggunakan kekuasaan sebagai tameng, mereka menguras kekayaan alam tanpa peduli pada kerusakan lingkungan dan penderitaan rakyat.
Konflik agraria, perampasan lahan, dan penghancuran hutan menjadi pemandangan yang jamak terjadi. Di balik proyek-proyek besar yang diklaim untuk "pembangunan," sering kali tersembunyi agenda untuk memperkaya diri.
Rakyat yang berjuang mempertahankan hak atas tanah mereka sering kali dihadapkan pada intimidasi, kekerasan, atau bahkan kriminalisasi. Negeri ini telah menjadi medan pertempuran antara rakyat kecil dan penguasa yang tamak.
Baca Juga: 5 Menteri Terburuk Pemerintahan Prabowo-Gibran: Siapa Saja yang Perlu Di-Reshuffle?
Agama Sebagai Alat Kekuasaan
Kemunafikan di negeri ini tidak hanya terlihat dalam ranah politik dan ekonomi, tetapi juga dalam penggunaan agama sebagai alat kekuasaan. Agama, yang seharusnya menjadi pedoman moral, sering kali digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang tidak bermoral.
Tak sedikit oknum pemimpin yang korup tidak segan-segan menggunakan simbol-simbol agama untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat. Di sisi lain, mereka yang berani mengkritik kebijakan yang tidak adil sering kali dicap sebagai pengkhianat atau bahkan anti-agama.
Agama dijadikan alat untuk membungkam perbedaan pendapat dan mempertahankan status quo. Padahal, esensi agama adalah keadilan, kebenaran, dan keberpihakan pada yang lemah.
Baca Juga: RUU Keadilan Iklim, Tanggung Jawab Negara yang Tak Bisa Ditunda
Pada saat bersamaan, media yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, justru sering kali terjebak dalam permainan kekuasaan. Alih-alih menyuarakan kebenaran, media menjadi alat propaganda yang membentuk opini publik sesuai kepentingan penguasa. Berita yang disajikan bukan lagi tentang fakta, melainkan tentang bagaimana membangun citra positif bagi penguasa.
Opini publik pun dikelola sedemikian rupa agar rakyat tetap diam dan menerima keadaan. Isu-isu besar yang merugikan rakyat sering kali ditenggelamkan dengan berita-berita sensasional yang tidak relevan. Di era digital ini, buzzer dan influencer menjadi senjata untuk membungkam kritik dan mengalihkan perhatian dari masalah-masalah krusial.
Harapan yang Tersisa
Meski demikian, perlawanan terhadap kemunafikan dan ketidakadilan tidak pernah padam sepenuhnya. Di berbagai sudut negeri, masih ada rakyat kecil, aktivis, dan tokoh masyarakat yang berjuang untuk melawan. Namun, perjuangan mereka sering kali dihadapkan pada tembok besar kekuasaan. Intimidasi, ancaman, hingga pembunuhan karakter menjadi risiko yang harus mereka hadapi.