HUKAMANEWS – Langkah politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) semakin membingungkan. Di tengah transisi kepemimpinan nasional, PDIP memilih posisi abu-abu: tidak masuk kabinet pemerintahan Prabowo Subianto, namun juga menolak disebut sebagai oposisi. Apakah ini manuver strategis atau justru menunjukkan ketidakmampuan mengambil sikap tegas?
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli SH., MH., dalam analisis politiknya menyebut sikap abu-abu PDIP ini menjadi tanda tanya besar. Apakah ini strategi politik atau bentuk keputusasaan menghadapi realitas politik? Berikut catatan lengkap dari mantan Ketua Komisi III DPR RI ini.
***
SEJAK pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden ke-8 RI, sikap PDIP terlihat semakin ambigu. Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menegaskan bahwa partainya tidak akan menjadi oposisi, karena menurutnya, istilah tersebut tidak sesuai dengan sistem presidensial yang dianut Indonesia. Namun, di sisi lain, PDIP juga tidak menempatkan kadernya di kabinet, meski mendukung pemerintah. Sikap ini disebutnya berlandaskan semangat gotong royong dalam ideologi Pancasila. Namun, kritik bermunculan, menyebut sikap tersebut sebagai politik dua kaki yang cenderung merusak kesehatan demokrasi.
Sebagai alasan utama sikap lunak PDIP, Basarah mengungkapkan hubungan panjang dan persahabatan antara Megawati dan Prabowo. Namun, apakah alasan ini cukup untuk membenarkan keputusan politik yang membingungkan?
Tak dapat dimungkiri, PDIP saat ini berada dalam posisi sulit. Jika memilih oposisi, PDIP tidak akan memiliki pengaruh signifikan di parlemen karena harus menghadapi mayoritas partai koalisi pemerintah. Namun, jika mendukung pemerintah tanpa terlibat langsung, PDIP kehilangan daya tarik sebagai partai alternatif.
Strategi atau Kebingungan PDIP?
Sikap PDIP yang enggan menjadi oposisi, namun juga tidak sepenuhnya berkoalisi, menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan demokrasi di Indonesia. Dalam sistem demokrasi yang sehat, oposisi memainkan peran penting untuk mengontrol kekuasaan dan memastikan kebijakan pemerintah tetap berpihak pada rakyat. Tanpa oposisi yang kuat, risiko penyalahgunaan kekuasaan meningkat.
Baca Juga: iPhone 17 Air dan Galaxy S25 Slim: Pengorbanan Besar Demi Desain Super Tipis, Apakah Layak?
Langkah PDIP ini juga memberikan sinyal bahwa politik Indonesia semakin pragmatis. Prinsip dan ideologi partai tampaknya semakin sering disesuaikan dengan kepentingan elit, bukan kebutuhan rakyat. Jika PDIP terus melanjutkan langkah abu-abu ini, publik mungkin kehilangan kepercayaan terhadap partai yang pernah menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru.
PDIP pernah menjadi oposisi vokal selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kala itu, partai ini konsisten bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, bahkan menjadi simbol harapan bagi kelompok di luar kekuasaan. Namun kini, sikap serupa tidak terlihat. Dalih “gotong royong” justru terkesan sebagai cara untuk bermain aman, menjaga hubungan baik dengan pemerintah tanpa benar-benar terlibat.
Keputusan PDIP untuk mengambil posisi abu-abu juga tidak terlepas dari dinamika internal partai. Pemecatan Jokowi sebagai kader PDIP oleh Megawati Soekarnoputri menciptakan ketegangan yang sulit disembunyikan. Berharap adanya gelombang unjuk rasa atau gugatan hukum dari Jokowi, PDIP tampaknya kecewa karena Jokowi justru bersikap santai.
Artikel Terkait
Menanti Langkah Konkret Presiden Prabowo Memberantas Korupsi, Bukan Sekadar Omon-Omon
Harun Masiku, PDIP, dan KPK: Sebuah Catatan Kelam Penegakan Hukum di Indonesia
Vonis Ringan Koruptor Timah, Ketimpangan Hukum, dan Tantangan Kepemimpinan Pemerintahan Prabowo
Keputusan MK Hapus Presidential Threshold Peluang atau Bumerang bagi Demokrasi?
Hasto, KPK, dan Megawati: Drama Politik PDIP yang Memicu Kontroversi