Paralel dengan kondisi tersebut, meskipun jumlah kandidat bertambah, rendahnya kesadaran politik masyarakat menjadi tantangan besar. Tanpa pendidikan politik yang memadai, pemilih cenderung memilih berdasarkan sentimen emosional atau tekanan politik uang, bukan visi dan rekam jejak. Akibatnya, terpilihlah pemimpin yang kurang kompeten, yang pada gilirannya menghambat pembangunan nasional.
Lebih jauh, fragmentasi politik ini dapat memperlemah koalisi di parlemen. Presiden terpilih yang tidak memiliki dukungan mayoritas akan kesulitan mengimplementasikan kebijakan strategis, menghambat agenda pembangunan, dan menciptakan stagnasi politik yang merugikan rakyat.
Baca Juga: Viral! Video Klaim Ahok Dilantik Jadi Ketua KPK Oleh Presiden Prabowo, Ini Fakta Sebenarnya
Menjaga Asa Demokrasi yang Bermakna
Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Brazil telah berhasil menjalankan sistem tanpa ambang batas, tetapi dengan prasyarat: pendidikan politik yang tinggi, mekanisme checks and balances yang kuat, dan sistem politik yang matang. Indonesia, dengan kompleksitas demografis dan tantangan politiknya, masih jauh dari kondisi tersebut.
Regulasi tambahan yang transparan dan melibatkan seluruh elemen masyarakat sangat diperlukan. Tanpa itu, keputusan ini hanya akan menjadi ilusi reformasi yang gagal memberikan substansi nyata bagi demokrasi Indonesia.
Kita harus berhati-hati agar demokrasi yang kita cita-citakan tidak menyeret kita ke dalam "kegenitan" demokrasi ala Barat, yang kini mulai kehilangan arah. Di sisi lain, dengan sistem multipartai yang kini diterapkan Indonesia sering kali menjadi ajang pertarungan elite politik dan ambisi pribadi para petualang kekuasaan. Sementara rakyat kecil hanya menjadi penonton di tengah kemerosotan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Demokrasi tanpa arah yang jelas, ditambah dengan penghapusan PT tanpa regulasi pendukung, hanya akan memperparah kondisi tersebut.
Baca Juga: Usai Menipu 900 Juta, Briptu WR Masuk Sidang Komisi Kode Etik Polri
Penghapusan presidential threshold memang menawarkan peluang untuk memperbaiki demokrasi, tetapi juga membawa risiko besar yang tidak boleh diabaikan. Tanpa regulasi dan pendidikan politik yang memadai, langkah ini berpotensi menjadi bumerang yang menghambat pembangunan nasional. Diperlukan upaya kolektif dari pemerintah, partai politik, dan masyarakat untuk memastikan transisi ini membawa dampak positif bagi masa depan Indonesia. Jika tidak, keputusan ini hanya akan menjadi reformasi semu yang kehilangan makna.***