Keputusan MK Hapus Presidential Threshold Peluang atau Bumerang bagi Demokrasi?

photo author
- Selasa, 7 Januari 2025 | 13:54 WIB
Ilutrasi. Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus aturan presidential threshold sebesar 20 persen telah memicu perdebatan di berbagai kalangan.
Ilutrasi. Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus aturan presidential threshold sebesar 20 persen telah memicu perdebatan di berbagai kalangan.

Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

Paralel dengan kondisi tersebut, meskipun jumlah kandidat bertambah, rendahnya kesadaran politik masyarakat menjadi tantangan besar. Tanpa pendidikan politik yang memadai, pemilih cenderung memilih berdasarkan sentimen emosional atau tekanan politik uang, bukan visi dan rekam jejak. Akibatnya, terpilihlah pemimpin yang kurang kompeten, yang pada gilirannya menghambat pembangunan nasional. 

Lebih jauh, fragmentasi politik ini dapat memperlemah koalisi di parlemen. Presiden terpilih yang tidak memiliki dukungan mayoritas akan kesulitan mengimplementasikan kebijakan strategis, menghambat agenda pembangunan, dan menciptakan stagnasi politik yang merugikan rakyat.

Baca Juga: Viral! Video Klaim Ahok Dilantik Jadi Ketua KPK Oleh Presiden Prabowo, Ini Fakta Sebenarnya 

Menjaga Asa Demokrasi yang Bermakna 

Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Brazil telah berhasil menjalankan sistem tanpa ambang batas, tetapi dengan prasyarat: pendidikan politik yang tinggi, mekanisme checks and balances yang kuat, dan sistem politik yang matang. Indonesia, dengan kompleksitas demografis dan tantangan politiknya, masih jauh dari kondisi tersebut. 

Regulasi tambahan yang transparan dan melibatkan seluruh elemen masyarakat sangat diperlukan. Tanpa itu, keputusan ini hanya akan menjadi ilusi reformasi yang gagal memberikan substansi nyata bagi demokrasi Indonesia. 

Kita harus berhati-hati agar demokrasi yang kita cita-citakan tidak menyeret kita ke dalam "kegenitan" demokrasi ala Barat, yang kini mulai kehilangan arah. Di sisi lain, dengan sistem multipartai yang kini diterapkan Indonesia sering kali menjadi ajang pertarungan elite politik dan ambisi pribadi para petualang kekuasaan. Sementara rakyat kecil hanya menjadi penonton di tengah kemerosotan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Demokrasi tanpa arah yang jelas, ditambah dengan penghapusan PT tanpa regulasi pendukung, hanya akan memperparah kondisi tersebut.

Baca Juga: Usai Menipu 900 Juta, Briptu WR Masuk Sidang Komisi Kode Etik Polri 

Penghapusan presidential threshold memang menawarkan peluang untuk memperbaiki demokrasi, tetapi juga membawa risiko besar yang tidak boleh diabaikan. Tanpa regulasi dan pendidikan politik yang memadai, langkah ini berpotensi menjadi bumerang yang menghambat pembangunan nasional. Diperlukan upaya kolektif dari pemerintah, partai politik, dan masyarakat untuk memastikan transisi ini membawa dampak positif bagi masa depan Indonesia. Jika tidak, keputusan ini hanya akan menjadi reformasi semu yang kehilangan makna.*** 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X