analisis

Paradoks Rencana Kenaikan PPN 12 Persen VS Obral Ampunan Pendosa Pajak

Senin, 25 November 2024 | 10:23 WIB
Ilustrasi. Garuda biru kembali viral di jagad maya seiring rencana kenaikan PPN 12 Persen yang rencananya akan diberlakukan 2025

Baca Juga: COP29 Azerbaijan Resmi Ditutup, Hasil KTT Iklim Mengecewakan

Tak salah bila kemudian kritik terhadap kebijakan ini meluas di media sosial dengan tagar #TolakPPN12Persen. Simbol Garuda Biru, yang sempat viral sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah, juga kembali mengemuka. Kalimat seperti "Menarik pajak tanpa timbal balik adalah kejahatan" menjadi slogan perlawanan. Banyak yang merasa bahwa kenaikan ini, meskipun diklaim perlu untuk menjaga stabilitas fiskal, justru semakin mencekik rakyat kecil.

Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

Alternatif Solusi

Kebijakan fiskal tidak hanya tentang angka, tetapi juga tentang kepercayaan. Ketika rakyat merasa kebijakan yang diambil adil dan berpihak pada kepentingan bersama, partisipasi dan kepatuhan pajak akan meningkat. Paradoks antara kenaikan PPN dan amnesti pajak ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi pemerintah untuk menata ulang arah kebijakan fiskal yang lebih berpihak pada keadilan sosial.

Alih-alih bergantung pada kebijakan yang kontroversial, pemerintah diharapkan lebih kreatif mencari sumber pendapatan negara tanpa merugikan rakyat kecil. Beberapa pakar dan politisi pun telah banyak memberikan ide sumber pendapatan yang bisa digali, mulai dari meningkatkan royalti tambang hingga menindak tegas praktik ilegal yang merugikan negara.

Baca Juga: Belasan Ribu Mata Awasi Politik Uang di Pilkada Jakarta 2024, Siap-Siap Terciduk Bawaslu Kalau Main Curang

Menurut pandangan penulis, beberapa cara yang bisa dilakukan perintah untuk memperkuat APBN tanpa menambah beban rakyat, adalah sebagai berikut:

(1) Reformasi Sistem Pajak: Pemerintah perlu fokus pada perluasan basis pajak daripada menaikkan tarif PPN. Mengintegrasikan data dari berbagai instansi dan memanfaatkan teknologi big data dapat membantu menemukan potensi pajak yang belum tergali, sehingga tidak melulu membebani masyarakat umum.

(2) Penegakan hukum yang tegas: Amnesti pajak seharusnya menjadi langkah terakhir, bukan kebijakan yang diulang-ulang. Jika terus dilakukan, hal ini menciptakan moral hazard. Pemerintah harus mulai menerapkan sanksi tegas bagi pelaku penghindaran pajak dengan hukuman yang tegas bagi pelanggar, sekaligus memperbaiki pengawasan.

(3) Keadilan Fiskal: Pemerintah perlu menunjukkan komitmen nyata untuk melindungi kelompok masyarakat rentan. Kenaikan PPN dapat diimbangi dengan insentif atau subsidi bagi kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan.

(4) Transparansi dan Akuntabilitas: Transparansi dalam penggunaan anggaran pajak sangat penting. Masyarakat akan lebih menerima kebijakan pajak yang berat jika mereka melihat hasil nyata dari kontribusi mereka, seperti infrastruktur yang baik atau layanan publik yang meningkat.

Baca Juga: Lokataru Ungkap Skandal Pilkada Papua 2024, ASN Tak Netral, Pejabat 'Main Belakang', hingga Dukungan Terselubung dari Pusat Terbongkar!

Keadilan adalah landasan utama dalam sistem perpajakan. Ketika kebijakan seperti kenaikan PPN dan tax amnesty tampak berat sebelah, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berisiko semakin menipis. 

Dalam situasi ini, diperlukan langkah yang lebih bijaksana, bukan hanya untuk memperkuat 

Halaman:

Tags

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB