HUKAMANEWS - RUU Perampasan Aset kembali menjadi sorotan. Masih terkatung-katung lebih dari satu dekade, kini muncul wacana perubahan nama rancangan undang-undang tersebut. DPR mengusulkan perubahan diksi ‘perampasan’ menjadi ‘pemulihan’.
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zukifli, SH., MH., dalam catatan analisis politiknya menyebut penggantian diksi “perampasan” menjadi “pemulihan” bisa mengurangi semangat tegas yang ingin disampaikan RUU tersebut. Di sisi lain, Pieter mengingatkan jika DPR hanya berfokus pada istilah, RUU ini bisa kehilangan esensinya. Berikut ini catatan lengkapnya.
***
DI TENGAH upaya pemberantasan korupsi yang masih menjadi agenda besar di Indonesia, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali mencuat dengan berbagai kontroversi. Alih-alih segera membahasnya dan memasukkan dalam prolegnas, kini justru muncul usulan perubahan diksi dalam RUU tersebut dari “perampasan” menjadi “pemulihan” asset dari parlemen.
Jelas saja perubahan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah perubahan kata ini hanyalah soal linguistik, atau justru memengaruhi esensi dari RUU tersebut?
Dari pihak pemerintah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa hingga kini belum ada kajian komprehensif mengenai alasan penggantian diksi tersebut.
Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa hingga kini belum ada kajian komprehensif mengenai alasan penggantian diksi tersebut. Menurutnya, usulan perubahan kata "perampasan" menjadi "pemulihan" masih menunggu kajian mendalam. Dalam pandangan Supratman, penggunaan istilah yang tepat sangat penting karena berpengaruh pada pemahaman dan penerapan undang-undang dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Kemudian ia menegaskan perlunya diskusi mendalam sebelum RUU Perampasan Aset dapat dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Rahasia Penghapusan Utang Macet UMKM, Buka Peluang Besar untuk Ekonomi Indonesia!
Perdebatan tentang “Perampasan” dan “Pemulihan”
Isu perubahan diksi ini bukanlah tanpa alasan. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Ahmad Doli Kurnia, mengungkapkan kekhawatiran bahwa kata "perampasan" memiliki konotasi yang kurang baik dalam konteks hukum di Indonesia. Doli mencatat bahwa dalam United Nations Convention against Corruption (UNCAC), istilah yang digunakan adalah "stolen asset recovery" yang diterjemahkan sebagai “pemulihan” aset. Menurutnya, istilah “pemulihan” lebih merefleksikan niat baik daripada “perampasan,” yang bisa dianggap ofensif.
Namun, perubahan ini menuai kritik tajam dari sejumlah kalangan yang khawatir penggantian diksi bisa mengurangi roh perjuangan RUU ini dalam memberantas korupsi. Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, menilai perubahan diksi bisa menghilangkan semangat utama dari RUU tersebut.
Menurut Novel, polemik ini menyentuh sisi penting dari tujuan RUU Perampasan Aset, yaitu memberantas korupsi melalui pengambilalihan harta kekayaan yang tidak sah. Ia menegaskan bahwa undang-undang ini seharusnya tak sekadar mengandalkan istilah, melainkan memperjelas perlunya memasukkan konsep illicit enrichment, di mana peningkatan harta yang tidak dapat dijelaskan asalnya harus dirampas demi kepentingan negara.