HUKAMANEWS – Pilkada 2024 menjadi topik hangat di berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum hingga elite politik. Di balik gegap gempita persiapan, muncul kegaduhan terkait perubahan aturan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana seharusnya posisi MK dalam sistem hukum kita, dan apa dampaknya terhadap demokrasi?
Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., yang juga merupakan Ketua Komisi III DPR periode 2013-2014 menjawab pertanyaan tersebut dalam analisis politik berikut ini:
***
DALAM sistem demokrasi Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) didesain sebagai lembaga pengawal konstitusi yang berperan sebagai "negatif legislator." Artinya, MK memiliki kewenangan untuk membatalkan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, tetapi tidak memiliki otoritas untuk menambah norma atau membuat peraturan baru. Tugas menciptakan norma dan membuat undang-undang berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang berperan sebagai legislator utama.
Kenapa MK tidak boleh membuat norma baru? Alasan utama MK tidak diberikan wewenang untuk menambah norma adalah karena sifat final dan mengikat dari keputusannya. Keputusan MK tidak bisa dianulir atau dibatalkan oleh lembaga manapun, bahkan oleh Presiden sekalipun. Untuk mengubah wewenang MK, satu-satunya cara adalah dengan membuat undang-undang baru, yang tentu saja hanya bisa dilakukan oleh DPR.
Masalahnya, proses legeslasi di DPR tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang panjang. Dengan 80 anggota Badan Legeslasi mewakili 9 fraksi yang ada di parlemen, perdebatan panjang dan proses politik yang rumit seringkali membuat pembentukan undang-undang menjadi lambat. Bayangkan, jika kewenangan untuk membuat undang-undang ada di tangan hanya 9 orang hakim MK, tanpa ada mekanisme pembatalan, betapa mengerikannya situasi tersebut.
Putusan MK: Kontroversi dan Kekuasaan
Namun, meski MK tidak memiliki kewenangan untuk membuat norma baru, dalam beberapa kasus, putusannya seakan menciptakan aturan baru yang memicu kontroversi. Salah satu contoh adalah perubahan syarat usia minimum calon presiden-wakil presiden hingga putusan terbaru pada Selasa (20/8/2024) yang mengubah ambang batas minimum pencalonan kepala daerah. Keputusan ini menuai protes dan menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Yang ironis, pihak yang diuntungkan oleh putusan ganjil MK ini adalah kelompok yang sebelumnya mengkritik putusan MK yang sama dalam kasus Gibran. Ketika keputusan menguntungkan mereka, kritik seakan menghilang begitu saja.
Baca Juga: Krisdayanti Putuskan Mundur dari Pilkada Batu, Inilah Alasan yang Memicu Spekulasi, Ada Apa?
Politik, Hukum, dan Akar Masalahnya
Penulis berpendapat bahwa akar masalah hukum dan demokrasi di Indonesia terletak pada partai politik. Bukan bermaksud membela Presiden Jokowi, tetapi jika melihat lebih dalam, Jokowi justru sering kali menjadi kambing hitam atas manuver para elite politik yang haus kekuasaan. Di tengah kritik dan hujatan yang datang, justru Jokowi yang diuntungkan, karena sifat asli para elite yang menyerangnya menjadi jelas terlihat.