Jika pemerintah dan DPR terus-menerus abai terhadap suara publik dan lembaga antikorupsi, maka wajar bila masyarakat mulai menyebut mereka bukan lagi wakil rakyat, tapi wakil dari para koruptor. Mereka yang semestinya menjaga akal sehat bangsa, justru menjelma menjadi suporter bagi mereka yang menghisap darah rakyat.
Sudah saatnya kita menyudahi praktik legislasi elitis yang abai pada partisipasi publik dan mengutamakan kepentingan segelintir elite. Penegasan tertulis bahwa lex specialis seperti UU Tipikor dan UU KPK tetap berlaku harus masuk dalam draf final KUHAP. Jika tidak, maka revisi ini bukan hanya keliru secara hukum, tapi juga cacat secara moral.
Jangan Sampai Parlemen Kehilangan Legitimasi
Demokrasi tanpa kepercayaan publik hanyalah prosedur kosong. Dan ketika DPR terus melahirkan regulasi yang melindungi pelaku kejahatan alih-alih memperkuat keadilan, maka legitimasi lembaga legislatif pun akan tergerus habis.
Membangun kepercayaan itu sulit. Tetapi menghancurkannya hanya butuh satu keputusan yang salah.
Maka sebelum semuanya terlambat, DPR dan pemerintah masih punya waktu untuk memperbaiki draf RUU KUHAP. Dengarkan suara publik. Libatkan KPK secara substantif, bukan sekadar formalitas. Dan pastikan bahwa revisi undang-undang bukan menjadi kuburan baru bagi harapan rakyat terhadap keadilan.
Jika mereka bersikukuh diam dan meneruskan pembahasan ini tanpa koreksi berarti, maka rakyat berhak berkata: kalian bukan lagi wakil kami. Kalian telah menjelma menjadi suporter resmi koruptor.***
Artikel Terkait
Peta Baru Kemiskinan Global dan Korupsi yang Mengakar: Saatnya Prabowo Menepati Janji
Pendidikan dan Kesehatan: Pilar Peradaban yang Terabaikan di Tengah Elite Korup dan Kepemimpinan yang Kehilangan Arah
Kenaikan Gaji Tak Menjawab Krisis Etika Hakim
Prabowo dan Janji Antikorupsi: Rakyat Butuh Aksi, Bukan Narasi
Putusan MK Soal Pemilu Serentak: Momentum Mendesain Ulang Demokrasi yang Berkeadilan
Kejahatan Kerah Putih dan Murahnya Harga Keadilan
10.000 Ton Beras untuk Palestina, Stunting di Negeri Sendiri