HUKAMANEWS - Ketika suara publik diabaikan dan proses legislasi dipercepat tanpa ruang partisipasi, demokrasi perlahan kehilangan jiwanya. Revisi RUU KUHAP yang tengah digodok DPR dan pemerintah tak hanya menyisakan tanya, tetapi juga kecemasan mendalam. Beberapa pasal dalam draf rancangan itu dinilai berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi secara sistemik.
Pengamat hukum dan politik, Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam catatan analisisnya menilai bahwa upaya-upaya melemahkan lembaga penegak hukum seperti KPK lewat jalur regulasi adalah bentuk baru dari korupsi politik yang terstruktur. Mantan Ketua Komisi III DPR ini mengingatkan, ketika aturan hukum dirancang untuk melindungi pelaku kejahatan kekuasaan, maka hukum telah berubah fungsi menjadi alat impunitas. Berikut ini catatan lengkapnya.
***
PROSES legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali menjadi cermin buram wajah parlemen kita. Dalam dua hari, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) disulap tuntas oleh Komisi III DPR bersama pemerintah. Publik tak diajak bicara, organisasi sipil dicueki, dan pendapat lembaga penegak hukum diabaikan. Sementara yang menjadi pertaruhan adalah masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini.
Kini, ketika RUU KUHAP dibahas di Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi DPR, giliran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyuarakan kegelisahannya. Setidaknya 17 poin krusial disoroti KPK yang dinilai bisa secara nyata melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Ini bukan sekadar kekhawatiran normatif, tetapi alarm bahaya yang seharusnya menggugah nalar dan nurani para legislator di Senayan.
Salah satu pasal bermasalah dalam draf tersebut adalah penyadapan yang hanya diperbolehkan pada tahap penyidikan dan harus dengan izin ketua pengadilan. Ini jelas menghambat kerja awal KPK yang selama ini mengandalkan strategi silent operation sejak tahap penyelidikan.
Poin lain yang tak kalah kontroversial adalah larangan mencegah saksi ke luar negeri. Dengan kata lain, sebelum seseorang berstatus tersangka, dia bebas bepergian. Padahal dalam banyak kasus, pelaku korupsi kerap lebih dahulu “menghilang” sebelum status hukumnya ditetapkan. Celah ini seperti karpet merah bagi koruptor untuk melarikan diri.
Lebih jauh, draf revisi KUHAP mengarahkan seluruh penanganan perkara pidana – termasuk korupsi – hanya berdasarkan KUHAP. Padahal KPK bekerja dengan tiga payung hukum: KUHAP, UU Tipikor, dan UU KPK. Kalau KUHAP dijadikan satu-satunya rujukan, otomatis prinsip lex specialis dalam UU Tipikor dan UU KPK bisa dikesampingkan.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej memang menegaskan secara lisan bahwa KUHAP tidak dimaksudkan untuk mengatur perkara lex specialis. Namun, secanggih apa pun pernyataan lisan, tetap tak bisa dijadikan rujukan hukum. Tanpa tertulis secara eksplisit dalam undang-undang, tafsir bisa liar dan digunakan untuk menelikung KPK secara prosedural.
Mengunci Kaki KPK dengan RUU Baru
Kita pernah mengalami episode pelemahan KPK pada 2019 melalui revisi UU KPK yang justru disahkan secara kilat dan diam-diam. Hasilnya, independensi KPK terganggu, penyidik internal banyak yang disingkirkan, dan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia melorot tajam (Transparency International, 2023).
Kini, sejarah yang sama seolah hendak diulang. Di tengah derasnya tuntutan pemberantasan korupsi, DPR justru mengajukan revisi hukum acara yang mempermudah para tikus berdasi mengelak dari jeratan hukum. Jika pasal-pasal bermasalah ini lolos, kita patut bertanya: apakah betul legislator kita ingin memberantas korupsi, atau justru sedang menyusun tameng hukum bagi para kolega dan donaturnya?
Publik telah terlalu lama menjadi saksi betapa koruptor di negeri ini diperlakukan istimewa. Dari sel mewah, remisi tak masuk akal, hingga cepatnya pembebasan. Bahkan tak jarang, mereka yang terbukti merampok uang rakyat masih bisa duduk di panggung politik tanpa rasa malu.
Artikel Terkait
Peta Baru Kemiskinan Global dan Korupsi yang Mengakar: Saatnya Prabowo Menepati Janji
Pendidikan dan Kesehatan: Pilar Peradaban yang Terabaikan di Tengah Elite Korup dan Kepemimpinan yang Kehilangan Arah
Kenaikan Gaji Tak Menjawab Krisis Etika Hakim
Prabowo dan Janji Antikorupsi: Rakyat Butuh Aksi, Bukan Narasi
Putusan MK Soal Pemilu Serentak: Momentum Mendesain Ulang Demokrasi yang Berkeadilan
Kejahatan Kerah Putih dan Murahnya Harga Keadilan
10.000 Ton Beras untuk Palestina, Stunting di Negeri Sendiri