10.000 Ton Beras untuk Palestina, Stunting di Negeri Sendiri

photo author
- Kamis, 17 Juli 2025 | 06:01 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

HUKAMANEWS – Pengiriman 10.000 ton beras ke Palestina oleh pemerintah atas arahan Presiden Prabowo Subianto memang tampak sebagai langkah humanis yang menggugah simpati. Namun di balik gemerlap diplomasi kemanusiaan itu, tersimpan ironi yang menusuk.

Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam catatan analisisnya menegaskan bahwa kebijakan ini berpotensi menjadi bentuk empati semu, baik secara moral maupun politik, jika dilakukan di tengah derita rakyat sendiri yang masih berjibaku dengan kelaparan dan krisis pangan. Ketika negara memilih tampil dermawan ke luar negeri, namun abai pada jutaan perut lapar di kampung-kampung sendiri, maka yang terjadi bukanlah solidaritas, melainkan pengkhianatan terhadap prioritas.

Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mengingatkan, pemimpin bukan diukur dari citra global, tapi dari keberpihakan yang konkret pada rakyatnya sendiri. Berikut catatan lengkapnya:

***

SOLIDARITAS adalah nilai luhur yang tak boleh lekang dari jati diri bangsa. Maka ketika Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan pengiriman 10.000 ton beras ke Palestina, banyak pihak menyambutnya dengan simpati. Di tengah penderitaan rakyat Palestina yang berkepanjangan, bantuan itu mencerminkan kepedulian Indonesia terhadap nasib bangsa tertindas.

Namun, tak sedikit pula yang menyisakan tanya: bagaimana kabar jutaan anak negeri yang masih lapar? Apakah bangsa ini benar-benar dalam posisi mampu berbagi, ketika perut sendiri belum kenyang?

Pada Senin, 7 Juli 2025, Kementerian Pertanian secara resmi melepas bantuan beras ke Palestina. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyerahkan langsung bantuan tersebut kepada Menteri Pertanian Palestina, Rezq Basheer-Salimia. Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR di hari yang sama, Amran menyatakan, bantuan ini merupakan arahan langsung Presiden Prabowo menjelang keberangkatannya ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 di Brasil.

Empati terhadap Palestina adalah hal yang patut dihargai. Namun publik juga tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan di dalam negeri. Data menunjukkan, lebih dari 20 juta warga Indonesia masih mengalami kerawanan pangan (Kompas, 2 Juli 2025). Di Papua, Nusa Tenggara Timur, dan sejumlah wilayah Kalimantan, angka stunting anak-anak masih tinggi, dan jutaan keluarga menggantungkan hidup pada bantuan sosial.

Publik pun bertanya: apakah kebijakan ini mencerminkan prioritas yang adil?

Rakyat tidak menolak bantuan kepada Palestina. Namun mereka berhak menggugat logika kebijakan yang tampak lebih memikirkan pencitraan global ketimbang penanganan krisis domestik. Apakah ini benar-benar keputusan karena surplus pangan, atau sekadar langkah simbolik di panggung internasional?

Patut diingat, stok cadangan beras nasional sempat berada di bawah ambang batas aman awal tahun ini. Perum Bulog pada Februari 2025 mengonfirmasi bahwa gangguan iklim dan gagal panen di sejumlah wilayah telah menyebabkan penurunan signifikan dalam Cadangan Beras Pemerintah (CBP) (Tempo.co, 25 Februari 2025). Dalam konteks tersebut, mengirim 10.000 ton beras ke luar negeri bukan hanya persoalan logistik, tetapi soal keberpihakan pemimpin.

Di sinilah publik mulai merasa getir. Ketimpangan kehidupan masyarakat Indonesia jarang tersentuh kebijakan politik negara, karena para pemimpinnya kerap larut dalam gaya hidup hedon dan panggung pencitraan. Diplomasi kemanusiaan memang penting, tetapi bukan dengan mengabaikan kenyataan bahwa anak-anak di negeri sendiri masih kekurangan gizi dan harga pangan pokok terus melonjak.

Menurut laporan terbaru SMERU Research Institute, ketimpangan akses pangan dan gizi di Indonesia meningkat sejak 2022, diperburuk oleh dampak pandemi dan lonjakan harga global. Di saat seperti itu, simbol-simbol kemurahan hati di luar negeri terasa paradoksal.

Pemerintah tentu tetap bisa menunjukkan empati terhadap Palestina. Namun bentuknya tak harus berupa bantuan pangan fisik. Dukungan diplomatik, kontribusi medis, atau peran aktif dalam perdamaian bisa menjadi alternatif yang lebih proporsional, tanpa mengabaikan kebutuhan domestik.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X