Memang, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia membaik—naik dari peringkat 115 ke 99 menurut Transparency International. Tapi ini belum layak dirayakan. Di Asia Tenggara, Indonesia masih termasuk lima terbawah. Peringkat ini seharusnya menjadi alarm, bukan pelipur lara.
Perbaikan sistem peradilan tidak cukup hanya menaikkan gaji. Butuh keberanian politik, penguatan sistem pengawasan, dan kemauan membersihkan institusi hukum dari para pengkhianat keadilan. Jika tidak, ruang-ruang sidang akan terus jadi panggung sandiwara, bukan tempat keadilan ditegakkan.
Keadilan bukan dagangan. Ia harus kembali ditempatkan sebagai hak rakyat, bukan alat kuasa oligarki. Dan kepercayaan publik hanya akan tumbuh jika hakim-hakim kita layak dipercaya.
Kini saatnya membuktikan: Indonesia tak sedang bertransaksi dengan keadilan. Kita harus membangun sistem peradilan yang bersih, tegas, dan benar-benar berpihak pada kebenaran. Karena hukum tanpa kepercayaan, adalah hukum yang lumpuh.***
Artikel Terkait
Prabowo dan Taruhan Besar Pemberantasan Korupsi
Premanisme Politik, Ancaman Nyata bagi Demokrasi
Surat Purnawirawan TNI dan Bahaya Makar Terselubung, Negara Tak Boleh Diam!
Peta Baru Kemiskinan Global dan Korupsi yang Mengakar: Saatnya Prabowo Menepati Janji
Pendidikan dan Kesehatan: Pilar Peradaban yang Terabaikan di Tengah Elite Korup dan Kepemimpinan yang Kehilangan Arah