Premanisme Politik, Ancaman Nyata bagi Demokrasi

photo author
- Jumat, 30 Mei 2025 | 20:45 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

HUKAMANEWS - Premanisme politik bukan sekadar anomali demokrasi, melainkan kanker laten yang menggerogoti fondasi bernegara. Dalam lanskap politik Indonesia yang makin banal, kekuasaan justru memberi ruang pada kekuatan informal berbasis kekerasan. 

Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., menilai bahwa praktik ini bukan lagi deviasi, tetapi bagian dari pola sistemik yang melemahkan supremasi hukum. Mantan Ketua Komisi III DPR ini dalam catatan analisis politiknya menyebut, premanisme tidak hanya mengancam kebebasan sipil, tetapi juga menggerus legitimasi negara. Jika dibiarkan, demokrasi akan berubah menjadi teater kekuasaan yang dikendalikan oleh ketakutan, bukan keadilan. Sudah saatnya negara bersikap tegas, atau kehilangan kepercayaan rakyat. Berikut tulisan lengkapnya. 

***

DEMOKRASI Indonesia kini dihadapkan pada tantangan serius: maraknya premanisme politik yang merasuki sendi-sendi kekuasaan. Ini bukan sekadar soal kriminalitas atau keamanan publik. Premanisme politik adalah fenomena sistemik yang menciptakan ketakutan, mematikan nalar publik, dan memperkuat rezim kekuasaan yang antidemokratis. 

Premanisme politik, sebuah refleksi yang layak disikapi oleh negara. Sorotan terhadap premanisme politik menjadi krusial bahkan sangat urgen karena dampaknya jauh lebih destruktif. Korban premanisme politik sangat luas, tak hanya sektor tertentu, tetapi juga melibatkan seluruh lapisan elit politik dan masyarakat sipil di Tanah Air. 

Dalam sepuluh tahun terakhir, kita menyaksikan bagaimana premanisme politik semakin merajalela. Despotisme politik yang dikembangkan bukan hanya memandulkan sistem demokrasi, tetapi menggantikannya dengan wajah kekuasaan yang ambigu. Kekuasaan tidak lagi bertumpu pada legitimasi rakyat, melainkan pada kemampuan mengintimidasi, menekan, bahkan menghilangkan suara-suara kritis. 

Jika kita cermati, sudah cukup lama elite di parlemen tidak serius memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam menjalankan fungsi legislasi, mereka justru lebih mengakomodasi kepentingan pemodal daripada suara konstituen. Politik kekuasaan (power politics) yang seharusnya digunakan untuk melindungi kepentingan nasional, kini justru digunakan untuk melanggengkan oligarki, bahkan jika perlu, melalui kekerasan dan teror.

Premanisme, di sisi lain, adalah praktik sekelompok orang yang mendapatkan penghasilan dengan cara melanggar hukum, melakukan pemerasan dan kekerasan terhadap masyarakat. Hubungan antara politik kekuasaan dan premanisme bisa terjadi ketika penguasa atau kelompok yang memiliki otoritas memanfaatkan jasa preman untuk tujuan politik mereka, atau sebaliknya, ketika premanisme menjadi ancaman serius terhadap stabilitas politik dan ekonomi negara. 

Setidaknya ada dua cara hubungan ini bekerja. Pertama, penggunaan preman untuk kepentingan politik. Penguasa atau kelompok politik tertentu memanfaatkan preman sebagai perpanjangan tangan kekuasaan. Mereka digunakan untuk menekan lawan politik, mengontrol wilayah, hingga mengamankan kepentingan ekonomi. Premanisme menjadi instrumen kekuasaan informal yang efektif namun merusak. 

Kedua, premanisme sebagai ancaman stabilitas nasional. Premanisme menciptakan ketidakpastian hukum, ketakutan sosial, dan hambatan ekonomi. Ketika dunia usaha tidak merasa aman, investasi pun enggan masuk. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi terganggu dan pembangunan nasional menjadi tersendat. 

Ilustrasi Premanisme Politik.
Ilustrasi Premanisme Politik.

Sejarah mencatat bahwa premanisme bukan barang baru. Dalam berbagai periode sejarah Indonesia—baik di masa Orde Baru, transisi Reformasi, maupun kini—premanisme selalu dimanfaatkan oleh penguasa untuk menjaga dominasi. Berbagai ormas berwajah ganda yang beroperasi di lapangan dan ikut dalam kontestasi politik, semua menunjukkan betapa eratnya hubungan antara kekuasaan dan kekerasan. 

Relasi ini jelas berbahaya. Negara tidak boleh berselingkuh dengan kelompok preman. Negara harus menegakkan hukum tanpa kompromi dan memastikan tidak ada kelompok mana pun—baik berbaju ormas, partai politik, atau elite ekonomi—yang kebal terhadap hukum. Jika negara tunduk atau berkompromi, maka ketertiban umum akan runtuh, dan masyarakat luas akan hidup dalam bayang-bayang ketakutan. 

Premanisme politik merusak demokrasi dari dalam. Ia bukan musuh yang datang dari luar sistem, melainkan tumbuh subur dari kelengahan, kompromi, dan pragmatisme para elite. Ketika demokrasi tidak lagi dibela oleh hukum, melainkan oleh kekuatan otot dan intimidasi, maka demokrasi itu sendiri telah kehilangan makna. 

Kita butuh keberanian negara untuk memutus rantai kekuasaan yang berselingkuh dengan premanisme. Kita butuh aparat penegak hukum yang berani dan independen. Kita butuh partai politik yang menjauhkan diri dari praktik intimidasi dan kekerasan. Dan lebih dari itu, kita butuh masyarakat sipil yang sadar dan berani bersuara. 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X