HUKAMANEWS - Janji Prabowo Subianto untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya bukan sekadar komitmen politik, melainkan ujian terbesar kepemimpinannya. Di tengah sorotan publik dan kompleksitas warisan kekuasaan sebelumnya, langkah Prabowo tak boleh setengah hati.
Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam tulisan analisis politiknya mengingatkan: jika perang terhadap korupsi kembali jadi sandiwara, maka masa depan Indonesia berada di ujung tanduk. Saat aparat dan elite lama masih bercokol, Prabowo harus memilih—berdiri bersama rakyat atau tenggelam dalam kompromi kekuasaan. Taruhannya bukan popularitas, tapi nasib republik ini ke depan. Berikut catatan lengkapnya.
***
PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan tentang pemberantasan korupsi terdengar keras, lugas, bahkan menyentuh akar persoalan. Ia mendukung Undang-Undang Perampasan Aset, menandatangani Perpres Perlindungan Jaksa, hingga menyebut langsung berbagai praktik seperti mark-up proyek dan manipulasi anggaran sebagai kejahatan terhadap rakyat. Retorika semacam itu memang patut diapresiasi—tetapi hanya akan bernilai bila dibarengi langkah-langkah konkret yang menyasar akar, bukan sekadar gejala.
Indonesia tidak kekurangan pemimpin yang lantang berbicara antikorupsi. Namun, sejarah mengajarkan bahwa keberanian untuk menindak para pelaku, apalagi jika mereka bagian dari lingkaran kekuasaan sebelumnya, adalah ujian yang jauh lebih berat. Dalam konteks itu, komitmen Prabowo—jika benar-benar dijalankan tanpa tebang pilih—bisa menjadi momentum bersejarah dalam lanskap politik Indonesia pasca-reformasi.
Sinyal yang ditunjukkan pemerintah saat ini, termasuk pembongkaran dugaan skandal besar di tubuh Pertamina pada periode 2018–2023, menunjukkan adanya keberanian untuk tidak menutup mata terhadap praktik korupsi berskala raksasa. Skandal yang diduga melibatkan kerugian ratusan triliun rupiah itu bukan perkara kecil. Di baliknya ada aktor-aktor besar, jaringan sistemik, dan tabiat buruk dalam pengelolaan BUMN yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Apabila benar diusut hingga ke akarnya, kasus ini bisa menjadi titik balik dalam tata kelola sektor strategis negara.
Namun, di sinilah letak "taruhan besar" Prabowo. Pemberantasan korupsi yang menyasar elite dan kelompok-kelompok kuat adalah jalan yang terjal. Ia akan berhadapan bukan hanya dengan perlawanan politik, tetapi juga tekanan dari berbagai kepentingan bisnis, bahkan lembaga dalam sistem pemerintahan itu sendiri.
Kita perlu mengingat bahwa kasus-kasus besar kerap mandek bukan karena kekurangan bukti, tetapi karena semangat penegakan hukum hanya hangat di awal. Vonis ringan, kompromi politik, hingga pengaburan isu sering menjadi jalan keluar bagi sistem yang belum pulih dari budaya impunitas.
Langkah Prabowo memperkuat perlindungan bagi jaksa lewat Perpres Nomor 66 Tahun 2025 patut dicatat sebagai bagian dari arsitektur kebijakan antikorupsi yang lebih kuat. Di negara dengan risiko tinggi kriminalisasi terhadap aparat penegak hukum, ini langkah penting. Namun, perintah struktural tidak akan cukup bila tidak dibarengi budaya keberanian dan perlindungan terhadap integritas dalam birokrasi penegakan hukum.
Di sisi lain, publik juga memiliki peran besar dalam menjaga momentum ini. Ketika Prabowo menyatakan keheranannya terhadap demonstrasi yang justru mendukung koruptor, itu menunjukkan masih ada ruang gelap dalam pemahaman masyarakat soal siapa sebenarnya yang menjadi korban dari praktik rasuah: rakyat sendiri. Pendidikan antikorupsi, penguatan jurnalisme investigatif, dan partisipasi warga dalam mengawal proses hukum, mutlak diperlukan.
Dalam waktu 100 hari masa pemerintahannya, Presiden Prabowo telah menunjukkan sejumlah arah kebijakan yang menjanjikan. Namun, akan sangat disayangkan jika momentum ini berhenti pada level pidato dan dokumentasi hukum semata. Publik tak butuh jargon baru, melainkan reformasi konkret, transparan, dan berkelanjutan dalam sistem keuangan negara, terutama di sektor-sektor strategis seperti energi, pangan, dan infrastruktur.
Taruhan Prabowo dalam hal ini bukan hanya soal pembuktian politik. Ini menyangkut arah sejarah: apakah Indonesia akan tetap menjadi negara yang permisif terhadap korupsi, atau mulai berani membangun fondasi negara yang benar-benar bersih dan adil.
Jika janji itu benar diwujudkan, maka sejarah akan mencatat Prabowo bukan hanya sebagai presiden ke-8, tetapi sebagai pemimpin yang memutus mata rantai lama korupsi dan memulai babak baru dalam kehidupan bernegara. Namun, bila tidak, kepercayaan rakyat akan kembali runtuh, dan luka kepercayaan terhadap institusi hukum akan makin dalam.
Pada akhirnya, publik tidak akan menilai berdasarkan seberapa lantang janji diumbar, melainkan seberapa banyak keadilan ditegakkan.***
Artikel Terkait
Elite, Bekerjalah Dulu untuk Rakyat, Baru Bicara 2029
Nasib RUU Perampasan Aset dan Jalan Terjal Prabowo Melawan Korupsi
Kejaksaan Dijaga TNI, Polisi Ditinggal Pergi, Di Mana Prabowo Berdiri di Tengah Darurat Korupsi?
Melindungi Marwah Demokrasi dari Politik Fitnah
Ketika Megawati Takut pada Bayang-Bayang Jokowi