Nasib RUU Perampasan Aset dan Jalan Terjal Prabowo Melawan Korupsi

photo author
- Rabu, 14 Mei 2025 | 10:08 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

 

HUKAMANEWS - Pemberantasan korupsi di Indonesia telah lama terjebak dalam pusaran wacana tanpa keberanian politik nyata. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, yang sejak 2018 didorong untuk disahkan, justru terus tertahan di meja parlemen. Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, harapan kembali mencuat. Namun, jalan menuju pengesahan regulasi strategis ini bukan tanpa rintangan: kekuatan politik yang saling berkelindan, mafia hukum yang mengakar, dan komitmen yang diuji waktu.

Pengamat Hukum dan Politik Dr Pieter C. Zulkifli, SH., MH., dalam analisis politiknya menyebut bahwa momen ini bisa menjadi ujian paling berat sekaligus paling menentukan bagi arah pemberantasan korupsi di era pemerintahan baru Prabowo - Gibran. Karena, menurut mantan Ketua Komisi III DPR ini, pemberantasan korupsi tidak hanya membutuhkan instrumen hukum, tetapi juga keteladanan dan keberanian politik. Berikut ini catatan lengkapnya.

***

SALAH satu tantangan terbesar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah lemahnya instrumen hukum untuk mengejar hasil tindak pidana. Korupsi tak hanya merampas uang negara, tetapi juga merampas keadilan publik. Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset yang sejak tahun 2008 tak kunjung disahkan menjadi simbol dari tarik-menarik kepentingan politik dalam melawan korupsi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah sejak 2018 mengusulkan agar RUU Perampasan Aset menjadi prioritas legislasi. Namun, hingga akhir masa jabatannya pada Oktober 2024, usulan itu tidak mendapatkan respons memadai dari Dewan Perwakilan Rakyat. Proses politik berjalan stagnan. RUU itu bahkan tidak pernah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahunan secara konsisten. Ironisnya, saat ini justru publik makin disuguhi berbagai ironi: koruptor makin lihai, tetapi negara seolah kehilangan alat untuk menarik kembali aset hasil kejahatan.

Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi Presiden terpilih, Prabowo Subianto. Dalam pernyataan usai pemilu, Prabowo menegaskan niat untuk mendorong kembali pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset. Harapan publik pun tumbuh, sebab komitmen ini sejatinya bukan hal baru bagi Prabowo. Dalam debat capres 2024, Prabowo menekankan bahwa pemberantasan korupsi adalah prioritas dan akar dari banyak persoalan struktural negeri ini.

Namun, komitmen politik tak cukup bila tidak dibarengi dengan keberanian untuk berhadapan dengan elite yang selama ini menikmati situasi status quo. Pemberantasan korupsi tidak hanya membutuhkan instrumen hukum, tetapi juga keteladanan dan keberanian politik.

Mafia Hukum dan Mentalitas Impunitas

Masalah besar lain yang tak bisa dilepaskan dari lambannya pemberantasan korupsi adalah keberadaan mafia hukum yang mengakar. Laporan Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama beberapa tahun terakhir menunjukkan keterlibatan oknum hakim dalam praktik suap dan pengaturan putusan. Kasus suap yang melibatkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati (2022) hingga terbaru penangkapan Sekretaris Mahkamah Agung oleh KPK, menambah daftar panjang rapor merah dunia peradilan.

Ketika hukum diperjualbelikan oleh para penegaknya sendiri, maka RUU sebaik dan sekuat apa pun takkan berdaya. Di sinilah urgensi membangun integritas sistemik di lembaga-lembaga penegak hukum. Dalam laporan Corruption Perceptions Index 2023 oleh Transparency International, skor Indonesia stagnan di angka 34 dari 100, menunjukkan problem struktural korupsi belum terurai.

RUU Perampasan Aset bisa menjadi titik tolak reformasi jika dijalankan dengan sungguh-sungguh. RUU ini mengadopsi prinsip non-conviction based asset forfeiture, yang memungkinkan negara menyita aset yang berasal dari tindak pidana, meskipun pelaku belum dijatuhi hukuman pidana. Prinsip ini telah diterapkan di banyak negara, termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Namun, pengesahan dan penerapannya di Indonesia harus disertai jaminan akuntabilitas dan pengawasan agar tidak disalahgunakan.

Tantangan Politik dan Jalan ke Depan

Hambatan terbesar terhadap pengesahan RUU ini tak lain adalah resistensi politik. Banyak pihak yang khawatir bahwa jika RUU ini disahkan, maka akan menyingkap banyak kejahatan masa lalu dan menyeret aktor-aktor politik besar yang masih punya kuasa hari ini. Dalam konteks itu, Prabowo harus membuktikan bahwa komitmennya bukan sekadar retorika kampanye, melainkan langkah politik berani untuk menciptakan legacy sebagai presiden yang serius memberantas korupsi.

Prabowo harus memanfaatkan dukungan politik yang dimilikinya, termasuk koalisi besar di parlemen, untuk menekan DPR agar memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2025 dan memprioritaskannya. Selain itu, pemerintah perlu membangun komunikasi publik yang kuat agar masyarakat ikut mengawasi proses legislasi dan tidak membiarkan pembahasan RUU ini dikaburkan oleh isu-isu pengalihan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X