Elite, Bekerjalah Dulu untuk Rakyat, Baru Bicara 2029

photo author
- Jumat, 2 Mei 2025 | 17:27 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

HUKAMANEWS - Di tengah gegap gempita politik yang tak pernah padam, bahkan ketika pemilu baru saja usai, elit negeri ini sudah kembali memainkan bidak kekuasaan untuk Pilpres 2029. Fenomena ini menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan yang peduli akan arah bangsa. 

Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH, dalam tulisan analisis politiknya menilai bahwa kegaduhan politik lima tahunan yang terus dipelihara hanya akan menjauhkan pemerintah dari esensi kepemimpinan: bekerja untuk rakyat. Lebih jauh, mantan Ketua Komisi III DPR ini mengajak publik untuk merenungkan ulang, apakah kita sedang membangun bangsa, atau justru mempertontonkan drama kekuasaan tanpa jeda. Berikut catatan lengkapnya. 

*** 

BARU saja riuh Pilpres 2024 mereda, segelintir elite politik sudah mulai memanaskan mesin untuk Pilpres 2029. Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, belum lama ini memberi isyarat dukungan politik untuk Prabowo Subianto di pemilihan presiden lima tahun mendatang. Manuver ini tak berdiri sendiri. Sejumlah partai politik lain juga sudah menyatakan kesiapan mereka, seolah-olah agenda besar bangsa hanya berputar pada siapa yang akan memegang tampuk kekuasaan berikutnya. 

Ini adalah sebuah ironi besar di Republik ini, ketika rakyat masih bergelut dengan kemiskinan, pendidikan yang timpang, dan layanan publik yang carut-marut, manuver politik menuju Pilpres 2029 justru menggambarkan betapa jauhnya elite dari realitas. Kekuasaan adalah amanat, bukan ambisi tanpa jeda. 

Pertanyaannya sederhana: Tidak bisakah elite politik di negeri ini bekerja dengan tenang dan fokus pada rakyat terlebih dahulu? 

Kapan waktunya rakyat menjadi prioritas, jika energi para penguasa hanya dihabiskan untuk memikirkan kontestasi? Kapan anak-anak mendapatkan pendidikan yang layak, jika kurikulum terus berubah tanpa arah? Kapan rakyat miskin bisa merasakan sejahtera, jika pejabat sibuk mengkalkulasi elektabilitas? 

Program makan bergizi gratis, yang menjadi salah satu janji besar pemerintahan baru, pun masih tertatih-tatih di lapangan. Di sejumlah daerah, bukan cerita sukses yang terdengar, melainkan laporan keracunan, distribusi tak merata, hingga tunggakan pembayaran vendor yang menggunung. Jika satu program saja belum mampu ditangani dengan rapi, bagaimana bisa kita percaya pada wacana-wacana politik jangka panjang yang penuh retorika? 

Lebih jauh lagi, korupsi masih bercokol. Kualitas pendidikan nasional belum beranjak dari titik nadir. Sistem kesehatan masih menyisakan banyak keluhan. Tekanan fiskal negara kian berat. Di tengah semua itu, kita justru disuguhkan tontonan baru: siapa yang paling siap nyapres 2029. 

Sudah saatnya para elite politik tahu diri dan sadar kapasitas. Jabatan bukanlah panggung narsisme kekuasaan, tapi amanah untuk mengurus kehidupan rakyat banyak. Bila tak mampu menunjukkan prestasi hari ini, jangan repot-repot bicara soal masa depan. 

Dalam realitas kekuasaan, tidak jarang pemimpin dikepung oleh lingkaran penjilat yang gemar menyampaikan pujian tanpa dasar—menyaring informasi, menutup pintu kritik, dan menyamarkan kebenaran di balik kepentingan pribadi. Situasi ini bukan sekadar soal etika komunikasi, tetapi berkaitan erat dengan praktik nepotisme dan korupsi yang mengakar. Ketika kedekatan lebih dihargai daripada kapasitas, maka meritokrasi pun runtuh, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah ikut tergerus. Pemimpin yang dikelilingi oleh sanjungan semu berisiko kehilangan kepekaan, bahkan daya objektivitas dalam menilai persoalan bangsa. 

Di sinilah Presiden Prabowo Subianto ditantang untuk mulai membangun kultur politik yang sehat, terbuka pada koreksi, dan menjadikan integritas sebagai fondasi utama. Jika Indonesia ingin melompat lebih tinggi dalam hal pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan tata kelola yang bermartabat, maka perang terhadap korupsi tak bisa ditawar. Presiden Prabowo harus berani mengibarkan panji Indonesia bebas dari korupsi dalam arti sesungguhnya, bukan sekadar slogan, bukan omon-omon. Karena, korupsi telah jelas-jelas merugikan berbagai aspek kehidupan, termasuk pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan politik yang bermartabat. 

Sekali lagi, Negara ini butuh pemimpin yang bekerja, bukan sekadar bermanuver. Bangsa ini rindu pada kecerdasan dan kewarasan elite, bukan kegaduhan tanpa ujung. Cita-cita para pendiri bangsa bukanlah agar partai politik terus berputar dalam pusaran kekuasaan, tetapi agar rakyat bisa hidup makmur dan bermartabat di tanah tumpah darahnya sendiri. 

Jika benar mencintai negeri ini, bantulah presiden bekerja. Diam lebih mulia daripada bicara tanpa karya.*** 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X