Mari kita kaji dengan kejujuran dan fakta. Jika dalam Pilkada November 24 para calon gubernur, walikota dan bupati masih saja didominasi oleh elite partai politik. Inilah yang kemudian akan membuat KPK akan jauh lebih sibuk bekerja untuk menyelamatkan uang Negara.
Dana alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus setiap tahun terus melompat semakin tinggi nilainya baik di kabupaten maupun kota dan provinsi, namun kenyataannya dari tahun ke tahun kabupaten/kota/provinsi tersebut tetap saja menjadi salah satu kabupaten termiskin di indonesia, atau provinsi termiskin. Harusnya mudah bagi KPK mengevaluasi fakta-fakta tersebut di lapangan.
Baca Juga: Heboh Akun Fufufafa, Mahfud MD Ogah Komentar, ‘Silakan Simpulkan Sendiri’ Kalau Penasaran!
Jika Negara serius ingin mengubah, meningkatkan kehidupan rakyat, maka penegakkan hukum tidak boleh tebang pilih. Jika sejak dulu semua elite parpol taat dan sungguh-sungguh melaksanakan perintah konstitusi, maka tidak ada rakyat miskin di negeri ini.
Pertanyaannya adalah mengapa elite yang berkuasa justru mengabaikan perintah Konstitusi? Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, dengan tegas menyatakan bahwa pejabat tidak lagi takut melakukan korupsi karena rendahnya risiko hukuman. Hal ini semakin memperkuat anggapan bahwa kekuasaan telah menjadi ladang eksploitasi bagi para elite politik, termasuk di PDIP. Sehingga salah bila di dalam sebuah kesempatan, Prof Jimly Assidiqie menyatakan bahwa semua jabatan publik saat ini sedang bermasalah.
Krisis Legitimasi PDIP
Dengan semakin jauhnya PDIP dari aspirasi wong cilik, pertanyaannya adalah: kapan partai ini akan berbenah? Retorika tanpa aksi nyata hanya akan memperburuk krisis kepercayaan terhadap partai yang pernah menjadi simbol perlawanan rakyat kecil. Di tengah kondisi sosial ekonomi yang masih memprihatinkan, terutama di daerah-daerah terpencil, rakyat kecil membutuhkan tindakan nyata, bukan sekadar slogan politik yang kosong.
Jika PDIP dan Megawati tidak segera mengoreksi arah mereka, bukan tidak mungkin partai ini akan terpuruk lebih dalam. Narasi besar tentang pembelaan terhadap wong cilik akan menjadi bagian dari sejarah yang terlupakan, sementara partai tersebut kehilangan relevansinya di kancah politik nasional.
Pada akhirnya, rakyat kecil tetap menunggu kapan suara mereka benar-benar dianggap sebagai "suara Tuhan" di mata elite politik, termasuk Megawati dan PDIP. ***
Artikel Terkait
Jerat Politik Kekuasaan: Oligarki, Korupsi, dan Mimpi Keadilan yang Sirna
Pilkada Serentak 2024: Jangan Jadikan Rakyat Tumbal Demokrasi
Pilkada 2024: Mimpi Indonesia Maju di Tengah Ironi Penegakan Hukum
Kesederhanaan Sri Paus vs Hedonisme dan Perilaku Korup Pejabat Indonesia
Prabowo, 40 Hari Jelang Pelantikan: Menanti Kepemimpinan di Tengah Geopolitik Dunia yang Kian Mencekam
Tan Malaka dan Kritik Abadi tentang Makna Kemerdekaan, Sebuah Tantangan untuk Pemerintahan Baru Prabowo-Gibran