Kita dan Konglomerat Sederajat

photo author
- Sabtu, 22 Februari 2025 | 06:00 WIB
Ahsan Jamet Hamidi, anggota Dewan Pengarah SEKBER KBB, Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso Tangerang Selatan
Ahsan Jamet Hamidi, anggota Dewan Pengarah SEKBER KBB, Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso Tangerang Selatan

Usai salat, dia muntah dan mencoba untuk tiduran. Sang istri memanggil anak lelakinya untuk membawanya ke dokter. Ternyata, Mang Rusdi enggan ke dokter dan meminta untuk diantarkan pulang ke Karawang. Dalam perjalanan, Mang Rusdi pulang menuju keabadian. Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun. 

Mang Rusdi mencintai profesinya sebagai pedagang ketupat sayur. Lebih dari 40 tahun, ia tidak pernah pindah ke profesi lain. Mungkin karena kecintaan pada profesi dan melakukan pekerjaan dengan senang hati, penuh kebahagiaan, dia terlihat lebih muda dari usianya yang sudah berkepala tujuh. Kopi pahit dan rokok adalah hiburan lainnya. Namun, ia bertekad kuat bahwa selama berjualan, antara jam 6.00 – 9.00, ia akan berhenti merokok total. Alasannya sederhana, tangan dan bajunya harus steril dari pengaruh dan bau rokok saat melayani pelanggan. 

Baca Juga: Tak Disangka! Seruan 'Indonesia Gelap' Jadi Trending Dunia, Ini Fakta Mengejutkannya

Usai membeli ketupat, saya tidak langsung pulang karena masih menunggu istri belanja. Akhirnya, saya ikut nimbrung dalam keriuhan kecil. Meski baru jam 8.00 pagi, ketupat Mang Rusdi sudah habis diborong oleh Ibu Ita yang akan menjamu teman-temannya dalam pertemuan arisan di rumahnya. Karena sudah selesai berjualan, ia mulai mengambil sebatang rokok kretek, meneguk kopi, dan ngobrol dengan sesama pedagang lain. 

Ada tukang kopi, bubur ayam, gorengan, ayam potong, dan tukang parkir. Mang Rusdi mendominasi obrolan dengan logat Sunda kental: 

“Kita ini teh bukan hanya pedagang, tapi orang bisnis, ta... Sama dengan saha éta’ teh yang jualan minyak goreng dan terigu yang punya Salim Group, si Anthony Salim,” kelakar Mang Rusdi sambil meneguk kopi dan menghisap rokok dalam-dalam. 

“Iya, tapi barang dagangannya beda, Mang...” cletuk tukang kopi. 

“Bukan barangnya yang beda, tapi jumlahnya yang beda. Mereka banyak, kita sedikit,” jawabnya dengan tangkas. 

“Mereka pakai mobil dan kapal besar, kita pakai gerobak, ya Mang,” kata tukang bubur. 

Baca Juga: Bripka Ristomo: Polisi, Guru Ngaji, dan Pejuang Pendidikan Anak Kampung Gunung Sindur

“Nya éta anu bener, tepat pisan!” Sergahnya, lalu melanjutkan pembicaraannya dengan mimik serius. “Rejeki Allah itu ibarat air seluas lautan. Untuk mengambilnya, ada yang dikasih cangkir, gayung, ember, bahkan ada yang dapat banyak, airnya ngegerojok terus sampai punya empang dan tambak luas sekali... tapi air di lautan téh tidak bakal habis, tenang aja...” katanya sambil menerawang. 

Sambil mengisap rokok dalam sekali, ia terus ngebodor: 

“Pokoknya téh... sebagai manusia kita mah sama saja, kita tetap sederajat... Mereka ke kantor naik mobil disopirin, kita ke pasar naik mobil disopirin juga.” 

“Iya, mereka naik mercy milik sendiri, kita naik bus mercy rame-rame, ya Mang...” kata sopir taksi. 

“Itu mah... cuma beda ukuran atuh Jang... (maksudnya Ujang). Mereka naik mobil berukuran kecil, kita naik yang ukurannya besar. Yang penting kan sampai di tujuan. Mereka naik sedan, kita naik bus, tujuannya kan sama. Bagaimana sampai tujuan, kan... Kalau sama-sama sudah sampai di tujuan, kenapa harus dipikirin caranya... he-he-he?” tawanya lepas sekali. 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Jukung Julak: Rumah Makan yang Menyimpan Ribuan Doa

Rabu, 19 November 2025 | 20:13 WIB

Soal Gelar Pahlawan Soeharto, Saya Berbeda Pandangan

Minggu, 9 November 2025 | 06:05 WIB

45 Tahun WALHI: Gerakan Tanpa Kultus

Jumat, 17 Oktober 2025 | 15:38 WIB

Ketika Para Ibu Sudah Turun ke Jalan

Senin, 31 Maret 2025 | 13:18 WIB
X