Ekokrasi: Keadilan Lingkungan dan Peran Agama di Indonesia

photo author
- Selasa, 28 Oktober 2025 | 06:22 WIB
Ahsan Jamet Hamidi, mantan Staf WALHI
Ahsan Jamet Hamidi, mantan Staf WALHI

HUKAMANEWS - “Agama jadul? Jangan salah. Justru dari yang disebut ‘jadul’ itulah, kita belajar cara paling waras untuk hidup berdampingan dengan alam,” tulis Ahsan Jamet Hamidi, Anggota Dewan Pengarah SEKBER KBB, dalam opininya yang menggelitik soal Ekokrasi: Keadilan Lingkungan dan Peran Agama di Indonesia.

Dalam tulisan ini, Ahsan menertawakan sinisme teman-temannya, sembari mengajak berpikir lebih dalam: siapa sebenarnya yang lebih modern — mereka yang menaklukkan bumi demi tambang dan beton, atau para penganut agama leluhur yang setia menjaga keseimbangan alam tanpa banyak bicara? Di sinilah, katanya, ekokrasi menemukan ruhnya: kekuasaan yang berpihak pada kehidupan. Berikut catatan lengkapnya.

***

Agama sering dijadikan tameng kekuasaan, tapi lupa menjaga bumi. Di sinilah ekokrasi menuntut iman yang berpihak pada kehidupan, bukan pada kepentingan.

“KONFERENSI internasional agama-agama jadul? Apakah itu berarti lawannya agama-agama pendatang? Berarti kembali ke suasana masa jahiliah lagi, dong.”

Komentar itu disampaikan oleh seorang teman terhadap perhelatan yang akan saya hadiri. Tidak heran dengan sikap sebagian teman yang agak sinis, seperti yang tercermin dalam pertanyaan bernada penuh curiga di atas.

Saya baru saja selesai mengikuti Konferensi Internasional ke-7 dan Konsolidasi Agama-Agama Adat yang digagas oleh Rumah Bersama ICIR (Intersectoral Collaboration on Indigenous Religion) pada 23–24 Oktober 2025 di Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Tema pertemuan ini menarik, yaitu “Ekokrasi: Kekuasaan untuk Rakyat, Keadilan bagi Seluruh Komunitas Planet”—sebuah seruan untuk memperkuat cara berpikir, bertindak, dan strategi demi tercapainya keadilan bagi seluruh makhluk hidup di planet ini.

Baca Juga: Menkeu Purbaya Siapkan Blacklist dan Denda Berat untuk Impor Pakaian Bekas, DPR Beri Dukungan Penuh

Hadir para perwakilan akademisi, peneliti dari berbagai bidang ilmu, praktisi dari berbagai profesi, aktivis organisasi masyarakat sipil, anggota komunitas, serta individu independen yang berminat. Mereka diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan dan pengalaman kritis maupun kreatif melalui makalah, poster, film, atau pertunjukan yang berkaitan dengan tema-tema seperti hak asasi manusia; demokratisasi dan masa depan planet; isu interseksionalitas hak yang meliputi agama atau keyakinan, perempuan, anak-anak, disabilitas, dan lingkungan; isu demokrasi, gerakan sosial, dan kekuasaan rakyat; isu pembangunan, polarisasi, dan kreativitas budaya; dialog, konflik, dan pembangunan perdamaian; serta dunia digital, kreativitas religius/artistik, dan kesejahteraan.

Dari sekian banyak tema di atas, saya memilih satu tema saja, yakni terkait hak untuk beragama atau berkeyakinan dan lingkungan. Kebetulan, saya tinggal di satu pondokan dengan kawan-kawan PAMU (Purwo Ayu Mardi Utomo) Malang, sebuah ajaran kebatinan atau penghayat kepercayaan yang berasal dari Jawa. Saya dapat berdiskusi secara rileks dengan mereka untuk menyempurnakan pemahaman tentang komunitas masyarakat adat.

Kesan saya, memang tetap ada ruang perdebatan di antara kelompok penganut agama leluhur (maaf jika penyebutan ini dirasa kurang tepat) dengan penganut enam agama lainnya, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, dalam berbagai isu. Saya hanya membatasi pembahasan pada masalah pengelolaan alam beserta seluruh kandungannya oleh para penganut agama-agama penghuni planet bumi.

Baca Juga: Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Para penganut agama leluhur mengaku telah memiliki sistem untuk melindungi ekosistem lingkungan agar dapat beradaptasi dengan alam, sehingga mampu mewujudkan keadilan lingkungan yang menjamin keseimbangan alam dan makhluk hidup di dalamnya. Selama berabad-abad, masyarakat adat menggunakan tradisi hidup untuk melestarikan keanekaragaman hayati, melindungi ekosistem yang rapuh, namun tetap mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Pengetahuan mereka menjadi dasar dalam membangun ketahanan komunitas untuk menghadapi agenda pembangunan yang merusak bumi, seperti disampaikan oleh Atika Manggala (Sri Tumuwuh, Yogyakarta).

Eko Cahyono dari Sajogyo Institute telah meneliti tentang respons para penganut agama terhadap krisis sosial-ekologi global. Ia menemukan adanya praktik “dua wajah” oleh para penganut agama di Indonesia. Satu wajah menunjukkan agama sebagai penganjur pelestarian lingkungan, sementara wajah lainnya menjadi legitimator praktik tertentu.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Jukung Julak: Rumah Makan yang Menyimpan Ribuan Doa

Rabu, 19 November 2025 | 20:13 WIB

Soal Gelar Pahlawan Soeharto, Saya Berbeda Pandangan

Minggu, 9 November 2025 | 06:05 WIB

45 Tahun WALHI: Gerakan Tanpa Kultus

Jumat, 17 Oktober 2025 | 15:38 WIB

Ketika Para Ibu Sudah Turun ke Jalan

Senin, 31 Maret 2025 | 13:18 WIB
X