HUKAMANEWS - Ketika para ibu turun ke jalan, itu bukan sekadar demonstrasi, tapi sebuah alarm bahaya bagi penguasa. Sejarah menunjukkan bahwa suara ibu-ibu yang marah mampu meruntuhkan rezim lalim. Tahun 1998, mereka melawan Orde Baru yang represif. Kini, mereka kembali bersuara menolak kembalinya dwifungsi militer dan ketidakadilan. Jika Prabowo mengabaikan peringatan ini, ia mengulang kesalahan Soeharto: meremehkan kekuatan rakyat.
Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso dan anggota AJI Jakarta Biro Banten dalam tulisannya menyebut gerakan ini bukan sekadar protes, tapi perlawanan moral dari nurani ibu-ibu yang tak rela anak-anaknya tumbuh dalam tirani. Berikut ini catatan lengkapnya.
***
PADA tahun 1997, kekuasaan Soeharto tengah memasuki babak pamungkas. Aksi demonstrasi mahasiswa dan warga yang merasa semakin tidak lagi percaya kepada pemerintah mulai meluas. Meskipun saat itu aksi unjuk rasa akan dianggap sebagai tindakan makar, aparat keamanan tidak segan bertindak represif terhadap para pelakunya. Namun demikian, kekuatan para pendemo tidak pernah surut. Saat itu juga terjadi peristiwa PEMILU 1997, di mana mulai muncul bibit perlawanan dari para simpatisan PPP dan PDI terhadap dominasi Golkar.
Aspirasi warga yang diredam dengan sangat keras oleh aparat tidak sepenuhnya mampu membungkam perlawanan tersebut. Kebebasan pers sangat dibatasi. Jika ada yang membangkang, pasti akan dibredel. Pada 21 Juni 1994, pemerintahan Presiden Soeharto membredel majalah Tempo, tabloid Editor, dan Detik, karena dianggap memberitakan kabar yang mengusik kekuasaan rezim Orde Baru.
Tekanan keras dari rezim Soeharto semakin menguat. Aksi penculikan, penangkapan dengan kekerasan, dan pemenjaraan terhadap mereka yang dianggap melawan pemerintah terus terjadi. Rumah tahanan banyak diisi oleh para pembangkang yang mereka sebut sebagai tahanan politik. Semakin keras tekanan pemerintah, semakin keras pula perlawanan yang muncul dari berbagai elemen warga. Alih-alih tekanan itu bisa membungkam, justru menumbuhkan kekuatan dan solidaritas antar mereka.
Pada tahun 1997 itu pula, situasi ekonomi Indonesia terus memburuk hingga terjadi krisis. Dampaknya luar biasa: harga kebutuhan pokok naik melambung, kerusuhan kerap terjadi. Harga susu untuk anak-anak melonjak hingga 400%. Kenaikan harga juga diikuti oleh langkanya beberapa jenis barang, seperti minyak goreng, gandum, hingga beras. Dampak sosial yang timbul juga semakin kompleks. Warga mulai resah, kegentingan mulai muncul di beberapa tempat.
Situasi ekonomi dan politik yang terus memburuk itu mencapai puncaknya pada kerusuhan massal di tahun 1998. Kekuatan Pemerintah Orde Baru yang dipersepsi tangguh itu ternyata sebaliknya, mereka lemah dan rapuh, hingga akhirnya tumbang setelah 32 tahun berkuasa.
Kebangkitan Kaum Ibu
Situasi negara yang limbung itu telah menggerakkan hati nurani kaum ibu untuk bangkit menyuarakan protes atas segala tindak kekerasan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Mereka juga menilai bahwa pemerintah telah gagal mengatasi masalah krisis ekonomi yang ditandai dengan naiknya harga-harga bahan pokok dan meluasnya kemiskinan.
Ketika itu, saya sudah bergabung di WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). Ia menjadi salah satu markas yang sering dijadikan wahana konsolidasi antar mahasiswa, aktivis, dan warga yang terus mengobarkan perlawanan terhadap Orde Baru. Saya akhirnya bisa mengenal beberapa nama para penggerak Gerakan Perempuan Indonesia, antara lain: Myra Diarsi, Julia Suryakusuma, Robin Bush, Yuniyanti Chuzaifah, Tati Krisnawaty, Salma Safitri, Gadis Arivia, Karlina Supeli, Dina, Agung Putri, Riga Adiwongso, Toeti Heraty Noerhadi, Gayatri, Nursjahbani Kacasungkana, Ita F. Nadia, Kartini Sjahrir, Emmy Hafild, dan lainnya.
Suatu ketika, mereka bersepakat untuk melakukan aksi demonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia. "Suara Ibu Peduli" (SIP) adalah nama yang mereka pilih. Awalnya, mereka memprotes kelangkaan susu dan bahan makanan pokok. Segala risiko yang akan diterima sudah diperhitungkan dengan matang, termasuk risiko kekerasan dan aksi tembak di tempat. Ketika itu, santer beredar rumor bahwa akan diberlakukan siaga satu, yaitu tembak di tempat bagi para pendemo.
Betul saja, saat melakukan aksi di Bundaran HI pada 23 Februari 1998, aparat bertindak cepat. Mereka menangkap tiga perempuan: Karlina Supeli, Gadis Arivia, dan Wiwil, lalu langsung mengangkutnya ke atas truk. Mereka digelandang ke kantor polisi dan ditahan selama satu malam. Ketiganya diinterogasi dan dicurigai telah "ditunggangi" oleh kaum oposisi. Entah siapa yang dimaksud dengan kaum oposisi pada saat itu. Mereka ditekan dengan pertanyaan: apakah mereka berkiblat pada ideologi komunis?
Artikel Terkait
Beragama dengan Nalar Segar
Memberantas Korupsi Sambil Korupsi, Saat Hukum Jadi Dagangan di Meja Kekuasaan
Membedah Komitmen Pemerintahan Prabowo Subianto dalam Perang Melawan Korupsi, antara Janji dan Realita
UU TNI dan Bahaya Delegitimasi Kekuasaan: Lampu Kuning untuk Pemerintahan Prabowo
Premanisme Berkedok THR, Ancaman bagi Industri dan Stabilitas Nasional
Menjaga Ruang Kebebasan Berekspresi dari Ancaman Kepala Babi