HUKAMANEWS - Di tengah dunia yang makin bising oleh jargon “hijau”, Hening Parlan, Wakil Ketua MLH PP Muhammadiyah, LLH PP ‘Aisyiyah, dan Koordinator GreenFaith Indonesia, hadir dengan keberanian yang menampar kesadaran kita: tauhid bukan sekadar kalimat syahadat, tapi komitmen ekologis yang mendalam dan membebaskan.
Hening menggugat cara kita beragama yang sering hanya berhenti di sajadah, tapi lupa bumi tempat kita bersujud. Melalui gagasan “Tauhid Lingkungan”, ia menanamkan kesadaran baru: merusak alam sama saja menodai kesetiaan pada Sang Pencipta. Sebuah dakwah yang menggoda nalar sekaligus menantang kenyamanan. Berikut catatan lengkapnya:
***
Tauhid tak berhenti di mihrab. Iman sejati tercermin dari cara manusia merawat bumi dan menjaga keseimbangan ciptaan Tuhan.
SYAHADAT adalah kalimat pembebasan. Ketika seorang Muslim mengucapkan “Asyhadu an la ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah,” maka ia tidak hanya bersaksi dengan lisan, tetapi juga meneguhkan kesetiaan pada nilai-nilai keesaan Tuhan. Tauhid bukan sekadar pengakuan bahwa Allah itu satu, tetapi juga kesadaran bahwa seluruh ciptaan—manusia, hewan, tumbuhan, air, dan udara—berada dalam satu kesatuan ciptaan Allah. Maka, merusak lingkungan sejatinya adalah bentuk pengkhianatan terhadap makna syahadat itu sendiri.
Baca Juga: Katulampa Siaga Banjir, Air Ciliwung Meluap, Jakarta dan Depok Bersiap Hadapi Banjir Kiriman
Dalam konteks inilah, hari ini, 26 Oktober 2024 saya berbicara di Pengajian Ranting Muhammadiyah Bintaro yang diselenggarakan di rumah Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, seorang tokoh dan pemikir Muhammadiyah yang disegani. Pengajian tersebut dihadiri sekitar tiga puluh peserta yang terdiri dari pengurus Muhammadiyah, Aisyiyah, serta anggota dan simpatisan.
Tema yang diminta panitia adalah Islam dan Lingkungan, namun saya spesifik mengambil tema Tauhid Lingkungan—sebuah gagasan yang menautkan iman, akal, dan tindakan ekologis. Saya sampaikan bahwa menjaga bumi adalah bentuk penghambaan kepada Allah—ibadah yang tak hanya diwujudkan dalam salat dan puasa, tetapi juga dalam upaya menjaga keseimbangan alam.
Diskusi dimulai dengan menjelaskan bahwa tauhid tidak berhenti di wilayah akidah, tetapi menuntut aksi nyata. Alam semesta adalah tanda-tanda kebesaran Allah SWT, dan manusia diberi amanah sebagai khalifah di bumi. Karena itu, menghormati dan merawat ciptaan Tuhan adalah wujud kesetiaan kepada-Nya.
Baca Juga: Update Relokasi Warga dari Zona Merah Radioaktif Cikande: Delapan Keluarga Lagi Dipindahkan
Dari sana, percakapan berlanjut pada tantangan lingkungan masa kini: ketergantungan terhadap energi fosil yang mencemari, urgensi efisiensi energi dan transisi menuju energi surga (energi bersih dan berkeadilan), krisis pengelolaan sampah, kerusakan laut, perubahan suhu yang ekstrem, dan munculnya berbagai penyakit akibat rusaknya ekosistem. Saya sampaikan bahwa seluruh krisis itu bukan hanya akibat kesalahan teknologi, melainkan juga akibat krisis spiritual—putusnya kesadaran manusia atas keterhubungannya dengan alam.
Tanggapan peserta begitu beragam dan mendalam. Buchori Muslim, pegiat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jakarta, mengungkapkan bahwa ia kesulitan mencari referensi lingkungan yang khas Muhammadiyah. Ia menilai perlunya pengembangan literatur dan narasi keislaman yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan, agar gerakan mahasiswa dapat berakar pada nilai-nilai Islam berkemajuan.
Sementara itu, Dr. Andar Nubawa menekankan pentingnya memberi ruang bagi generasi muda untuk membangun ecosociopreneurship—usaha sosial berbasis lingkungan yang berkeadilan. Menurutnya, dukungan kelembagaan dari Muhammadiyah amat penting agar ide dan kreativitas anak muda bisa tumbuh menjadi gerakan nyata.
Baca Juga: Mengenal DME, Gas dari Batu Bara yang Disiapkan Gantikan LPG Mulai 2028
Artikel Terkait
“Mental Stunting” Pejabat
Tagilom: Upholding Peace from Ternate for the World
From Hashtags to Real Action: It’s Time for Youth to Lead Change
Faith, Climate Crisis, and the Moral Responsibility of Religious Communities
GreenFaith Indonesia Calls for a Moral Interfaith Voice at the Bangkok Climate Action Week
DPR dan Mutu Rendah Legislasi
45 Tahun WALHI: Gerakan Tanpa Kultus
Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”
Ekokrasi: Keadilan Lingkungan dan Peran Agama di Indonesia