Praktik ini menjadi indikator kuat bahwa proyek pengadaan dijadikan instrumen untuk memulihkan biaya politik pasca Pilkada.
Dalam konteks nasional, pola tersebut tidak jarang ditemukan dalam berbagai operasi KPK, memperlihatkan korelasi erat antara tingginya biaya pencalonan dan meningkatnya risiko korupsi kepala daerah.
Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada 9–10 Desember 2025 menjadi titik balik pengungkapan kasus.
Setelah mengamankan lima orang, KPK secara resmi menetapkan mereka sebagai tersangka sehari setelah OTT berlangsung.
Para tersangka terdiri dari Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya, anggota DPRD Lampung Tengah Riki Hendra Saputra, ketua PMI Lampung Tengah sekaligus adik bupati Ranu Hari Prasetyo, Pelaksana Tugas Kepala Badan Pendapatan Daerah Anton Wibowo, dan Direktur PT EM Mohamad Lukman Sjamsuri.
Di tengah pengungkapan ini, respons publik menunjukkan keprihatinan.
Sejumlah warganet menyoroti kembali masalah biaya politik yang mahal. Diskusi di ruang digital menunjukkan opini bahwa praktik “balas budi politik” melalui proyek pemerintah sudah menjadi pola lama yang terus berulang.
Pengamat antikorupsi juga menekankan pentingnya transparansi pengadaan sebagai syarat mutlak mencegah penyalahgunaan wewenang.
Secara administratif, skandal ini dapat berimplikasi pada evaluasi ulang terhadap mekanisme pengadaan di Lampung Tengah.
Selain itu, kasus ini menjadi bukti bahwa keterlibatan keluarga dalam proyek pemerintahan meningkatkan risiko benturan kepentingan.
Jika tidak direspons serius, potensi kerugian negara dan turunnya kepercayaan publik akan semakin besar.
Kasus dugaan korupsi ini memperlihatkan bagaimana tekanan biaya politik bisa memicu praktik penyalahgunaan kekuasaan.
Lampung Tengah menjadi contoh bahwa tata kelola pemerintahan daerah harus diperketat sejak awal masa jabatan kepala daerah.