Menariknya, transfer ke daerah mencapai Rp571,5 triliun atau 62,1 persen, lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Namun, belanja daerah justru turun 14,1 persen.
Penurunan ini dipicu pergantian kepemimpinan di sejumlah daerah serta pengetatan efisiensi di pemerintahan baru.
Kondisi tersebut membuat perputaran uang di daerah terhambat, terutama pada proyek-proyek layanan publik dan pembangunan.
Tantangan Serapan APBN, Masalah Lama yang Berulang
Lambatnya serapan anggaran sebenarnya bukan isu baru.
Setiap tahun pemerintah berhadapan dengan pola serupa: pengerjaan program menumpuk di akhir tahun, proses administrasi berbelit, hingga perencanaan yang tidak matang.
Baca Juga: RUU KUHAP Dikebut untuk Disahkan Pekan Depan, Koalisi Sipil Ingatkan Masih Banyak Pasal Bermasalah
Beberapa analis menilai, rendahnya penyerapan anggaran sering bersumber dari:
- Kelemahan perencanaan jangka menengah
- Proses pengadaan yang terlambat
- Struktur birokrasi yang masih lambat beradaptasi
- Pergantian pejabat menjelang akhir tahun anggaran
Di sisi lain, publik menyoroti risiko belanja “kejar tayang” di bulan Desember, yang kerap memicu belanja kurang berkualitas.
Fenomena pengembalian Rp3,5 triliun dari K/L menjadi alarm keras menjelang penutupan tahun fiskal 2025.