Psikolog anak dari UI, Dr. Ratna Wulandari, menjelaskan bahwa kecenderungan meniru aksi berisiko sering terjadi pada remaja yang mencari identitas diri.
“Anak-anak di fase remaja sering kali mencoba membuktikan diri dengan cara ekstrem, apalagi kalau mereka melihat aksi berani di media.
Peran keluarga dan sekolah sangat penting untuk mengimbangi paparan semacam ini,” ujarnya saat dihubungi secara terpisah.
Tidak Ada Unsur Diskriminasi dan Intoleransi
Menepis isu lain yang sempat beredar, Pramono Anung juga menegaskan bahwa peristiwa di SMAN 72 sama sekali tidak berhubungan dengan intoleransi atau diskriminasi antar siswa.
“Banyak yang berspekulasi, tapi saya pastikan tidak ada kaitannya dengan intoleransi. Pelaku tidak memiliki latar belakang seperti itu,” katanya.
Pernyataan ini sekaligus menenangkan publik, mengingat sekolah tersebut sebelumnya dikenal sebagai salah satu SMA unggulan di Jakarta Utara dengan lingkungan belajar yang cukup inklusif.
Langkah Pencegahan dari Pemprov DKI Jakarta
Sebagai tindak lanjut, Pemprov DKI Jakarta akan memperkuat pendidikan karakter dan literasi digital di sekolah-sekolah.
Gubernur Pramono mengatakan telah meminta Dinas Pendidikan DKI untuk mengembangkan modul pencegahan dan pengawasan konten berisiko di kalangan pelajar.
“Nah yang seperti itu harus kita antisipasi. Saya sudah minta Kepala Dinas Pendidikan menyiapkan program pendidikan pencegahan agar kasus seperti ini tidak terulang,” jelasnya.
Baca Juga: Bobby vs Toto: Diplomasi Gemas ala Prabowo dan Albanese yang Curi Hati Publik
Langkah ini diharapkan menjadi gerakan jangka panjang yang melibatkan guru, orang tua, dan siswa dalam menciptakan ruang belajar aman dan bebas dari pengaruh negatif dunia maya.
Kasus di SMAN 72 menjadi pengingat penting bahwa ancaman kekerasan di dunia pendidikan kini tak hanya datang dari lingkungan sosial, tetapi juga dari dunia digital.