Di satu sisi, regulasi ini dapat mencegah kriminalisasi terhadap jaksa yang sedang menangani perkara sensitif.
Izin dari Jaksa Agung dipandang sebagai bentuk pengawasan internal agar penegakan hukum tidak disalahgunakan oleh pihak eksternal.
Namun, di sisi lain, sejumlah pakar hukum menilai aturan ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Bila penegakan hukum terhadap jaksa harus selalu menunggu restu Jaksa Agung, maka independensi lembaga kejaksaan bisa tergerus, terutama bila kasus menyangkut internal institusi atau pejabat tinggi.
Baca Juga: Gugatan Rp103 Triliun, Skandal NCD Palsu Seret Tito Sulistio dan Hary Tanoe ke Meja Hukum
Pengamat hukum dari Universitas Padjadjaran, misalnya, menilai pentingnya mekanisme transparansi dan akuntabilitas publik dalam penerapan pasal ini.
“Perlindungan hukum terhadap jaksa itu penting, tapi jangan sampai menjadi tameng terhadap pengawasan,” ujarnya.
MK Batalkan Pasal soal Pertimbangan Teknis Jaksa Agung ke MA
Selain Pasal 8 ayat (5), MK juga membatalkan Pasal 35 ayat (1) huruf e UU Kejaksaan.
Pasal tersebut semula mengatur kewenangan Jaksa Agung memberikan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung (MA) dalam pemeriksaan kasasi.
Menurut MK, ketentuan itu tidak memiliki batasan jelas dan berpotensi menimbulkan intervensi terhadap proses peradilan.
Dengan putusan ini, Jaksa Agung tidak lagi berwenang memberikan pertimbangan hukum kepada MA, demi menjaga kemandirian lembaga peradilan dan mencegah tumpang tindih kewenangan antar lembaga hukum.
Baca Juga: Pertempuran Soanggama Pecah Dini Hari, TNI Bungkam OPM dan Buktikan Kedaulatan NKRI!
Langkah MK ini dinilai sebagai upaya mempertegas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta memperkuat prinsip checks and balances dalam sistem hukum nasional.
Implikasi Jangka Panjang bagi Independensi Kejaksaan
Secara jangka panjang, keputusan ini menuntut reformasi internal di tubuh Kejaksaan agar mampu membangun mekanisme pengawasan dan akuntabilitas internal yang kuat.