Kondisi ini dapat menciptakan ketakutan berlebihan di kalangan pembela hukum, termasuk advokat dan saksi, karena khawatir dianggap menghambat proses penegakan hukum.
Dalam dokumen amicus curiae yang diajukan, para ahli hukum yang terdiri dari profesor dan doktor dari berbagai perguruan tinggi, termasuk Prof. Tongat (UMM), Prof. Mahmutarom HR (Unwahas), dan Prof. Rena Yulia (Untirta), meminta MK memberikan tafsir pembatasan atas Pasal 21 UU Tipikor.
Mereka mengusulkan agar pasal tersebut hanya menjerat perbuatan dengan niat jahat (mens rea), seperti tindakan kekerasan, intimidasi, atau pemberian suap, yang secara tegas diatur dalam Article 25 Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC).
“Pemberantasan korupsi harus berjalan dalam koridor hukum yang pasti, adil, dan proporsional. Norma yang kabur justru melemahkan keadilan dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan,” tulis para pakar dalam dokumen itu.
Baca Juga: Gara-Gara Pamer Liburan dan Motor Mewah di Medsos, ASN Seklur Petojo Kena Sanksi Pemprov DKI Jakarta
Para akademisi juga menekankan bahwa bahasa hukum tidak pernah netral.
Kekaburan norma pidana, menurut mereka, dapat berujung pada penafsiran sepihak oleh aparat penegak hukum yang memiliki posisi dominan dalam sistem peradilan pidana.
“Ketika aparat penegak hukum memiliki posisi dominan dalam menafsirkan bahasa norma pidana, peluang kriminalisasi akan terbuka lebar,” tulis para ahli mengutip teori Paul Scholten dan J.A. Pontier.
Analisis ini sejalan dengan kekhawatiran publik bahwa pasal dengan rumusan elastis dapat digunakan sebagai alat politik atau tekanan terhadap pihak yang sedang berhadapan dengan kekuasaan.
Dalam konteks ini, langkah 18 akademisi dianggap penting sebagai rem akademik bagi MK agar tetap menjaga keseimbangan antara pemberantasan korupsi dan perlindungan hak warga negara.
Permintaan para akademisi ini diharapkan menjadi pertimbangan serius bagi para hakim konstitusi.
Dengan membatasi tafsir Pasal 21, MK dapat memastikan bahwa penegakan hukum antikorupsi tetap berjalan tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan hak konstitusional individu.
Langkah ini juga menjadi momentum bagi publik dan pembuat kebijakan untuk meninjau ulang harmonisasi hukum pidana, khususnya dalam menyeimbangkan kewenangan penyidik dengan perlindungan terhadap warga negara yang mencari keadilan.
Kasus ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa berdiri sendiri tanpa kejelasan hukum.
Norma yang kabur justru bisa melemahkan kredibilitas sistem hukum dan menciptakan ketidakpastian bagi semua pihak, termasuk mereka yang beritikad baik.