“Korupsi telah mengganggu terwujudnya kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM, serta merampas hak atas pembangunan dan kesejahteraan,” ujar Uli.
Menurutnya, pembahasan RUU Perampasan Aset harus mengedepankan prinsip HAM agar tidak hanya efektif dari sisi hukum, tetapi juga berkeadilan sosial.
Komnas HAM pun menyatakan akan terus mengawasi pembahasan RUU ini.
Mengapa Penyebutan Kerugian Publik Penting?
Pakar hukum tata negara yang dihubungi terpisah menilai, usulan Ombudsman agar RUU mencantumkan jenis kerugian masyarakat memiliki implikasi besar.
Dengan adanya rumusan jelas, pengadilan dapat lebih mudah menilai dampak sosial suatu tindak pidana korupsi.
Kerugian publik bisa meliputi:
Kerugian materiil: hilangnya anggaran pembangunan, layanan publik terbengkalai, hingga proyek mangkrak.
Kerugian imateriil: hilangnya rasa keadilan, menurunnya kepercayaan pada pemerintah, serta rusaknya kohesi sosial.
Konteks ini juga relevan di daerah seperti Bandung, di mana beberapa kasus korupsi proyek infrastruktur sempat membuat masyarakat harus menanggung beban lebih, misalnya lewat biaya transportasi atau layanan publik yang tersendat.
RUU Perampasan Aset diharapkan bukan sekadar instrumen untuk menyita kekayaan hasil korupsi, tetapi juga sarana pemulihan hak-hak masyarakat.
Dengan menegaskan bentuk kerugian publik dalam aturan, negara dapat menghadirkan keadilan yang lebih komprehensif.
Seperti ditekankan Ombudsman dan Komnas HAM, korupsi bukan hanya soal angka kerugian negara, melainkan juga soal hilangnya kesempatan masyarakat untuk hidup sejahtera.