Pemerintah membagi kuota secara merata 50:50 untuk haji reguler dan haji khusus. Padahal, menurut UU Nomor 8 Tahun 2019, proporsinya adalah 92 persen reguler dan hanya 8 persen khusus.
KPK Dorong Good Governance
Dalam audiensi, KPK menegaskan selalu terbuka bekerja sama dengan kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah untuk mendorong tata kelola pemerintahan yang bersih.
“Pendekatan pencegahan dan penindakan diharapkan jadi pemantik perbaikan salah satu pelayanan publik terpenting ini,” ujar Budi Prasetyo.
Bagi publik, ibadah haji bukan hanya soal perjalanan ke Tanah Suci, melainkan juga persoalan keadilan dan transparansi.
Baca Juga: Nadya Almira Buka Suara Soal Tudingan Tabrak Lari, Ungkap Kronologi Kecelakaan 12 Tahun Lalu
Banyak calon jemaah di daerah harus menunggu hingga belasan tahun dalam antrean panjang. Maka, setiap celah penyimpangan birokrasi dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap harapan umat.
Publik Harap Perbaikan Nyata
Meski Gus Irfan enggan banyak berkomentar ketika tiba di KPK, kehadirannya memberi sinyal politik bahwa pemerintah ingin menata ulang tata kelola haji.
Pertanyaannya, sejauh mana langkah ini benar-benar akan berdampak nyata bagi calon jemaah di lapangan?
Sejumlah pakar menilai, sinergi Kementerian Haji dan KPK perlu disertai reformasi digitalisasi sistem, mulai dari transparansi data antrean, mekanisme pembagian kuota, hingga seleksi biro perjalanan.
Dengan begitu, publik dapat mengawasi secara langsung dan mencegah praktik rente.
Di media sosial, netizen menyambut positif pertemuan ini, namun juga skeptis. Banyak yang berharap perbaikan tidak sekadar seremonial. “Kalau masih ada oknum yang main kuota, sama saja bohong,” tulis seorang warganet di platform X.
Kedatangan Gus Irfan ke KPK bisa dibaca sebagai momentum awal untuk membersihkan tata kelola haji yang selama ini rawan praktik koruptif.