Jejak Panjang Sejak Era Cak Imin
Kasus ini ternyata bukan cerita baru. KPK mengungkap dugaan pemerasan pengurusan RPTKA sudah berlangsung sejak era Abdul Muhaimin Iskandar (2009–2014), lalu berlanjut pada masa Hanif Dhakiri (2014–2019), hingga kepemimpinan Ida Fauziyah (2019–2024).
Artinya, praktik gratifikasi ini sudah mengakar lebih dari satu dekade. Pergantian menteri tidak serta-merta menghapus pola lama, seolah menunjukkan lemahnya pengawasan internal.
Publik pun menilai, ini menjadi ujian serius bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola perizinan tenaga kerja asing.
Respon Publik dan Sorotan Transparansi
Di media sosial, banyak warganet melontarkan kritik pedas. Sebagian menyebut kasus ini menunjukkan betapa “mahalnya” biaya birokrasi di Indonesia, sementara sebagian lain menyoroti lemahnya integritas pejabat publik.
“Bagaimana bisa izin kerja asing yang harusnya administrasi biasa berubah jadi ladang pemerasan?” tulis seorang pengguna X (Twitter).
Di sisi lain, sejumlah pengamat ketenagakerjaan mengingatkan bahwa korupsi semacam ini berpotensi mengurangi kepercayaan investor asing.
Bagi perusahaan internasional, kepastian hukum dan transparansi birokrasi menjadi faktor kunci sebelum menanamkan modal di Indonesia.
Baca Juga: Tangis Istri Arya Daru Guncang Publik: Pak Presiden, Tolong Usut Kematian Suamiku Secara Jujur!
KPK menahan delapan tersangka kasus ini dalam dua tahap: empat orang pada 17 Juli 2025, dan empat orang lainnya pada 24 Juli 2025.
Selain mobil Toyota Innova, KPK juga telah menyita sejumlah aset lain, termasuk tanah seluas 4,7 hektare, yang diduga terkait gratifikasi.
Meski proses hukum tengah berjalan, publik menantikan langkah lebih jauh dari pemerintah. Tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memperbaiki sistem agar kasus serupa tidak terus berulang.
Kasus Haryanto dan skandal RPTKA membuka mata publik bahwa praktik gratifikasi di birokrasi masih menjadi penyakit lama yang sulit disembuhkan.