nasional

Menkeu Purbaya Bongkar Budaya ABS di Birokrasi, Laporan Manis Ternyata Jauh dari Fakta Lapangan!

Sabtu, 20 September 2025 | 18:47 WIB
Menkeu Purbaya bicara soal budaya Asal Bapak Senang di birokrasi. (HukamaNews.com / Kemenkeu)

HUKAMANEWS – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa kembali menyoroti masalah klasik dalam birokrasi Indonesia: budaya “Asal Bapak Senang” (ABS).

Menurutnya, pola kerja yang lebih mengutamakan laporan indah ketimbang fakta lapangan masih kuat bertahan, termasuk dalam proyek penting seperti sistem inti administrasi perpajakan (Coretax).

Fenomena ABS ini, kata Purbaya, bukan sekadar masalah kecil, melainkan bisa berdampak serius pada kualitas kebijakan publik.

Ia bahkan mengaku sering menerima laporan manis dari jajarannya, namun kenyataannya berbeda jauh ketika ia melakukan pengecekan langsung.

Baca Juga: Sindikat Bayi Terbongkar! Polri–SPF Ungkap Jual Beli Rp254 Juta per Anak, 15 Sudah Diselundupkan ke Singapura

“Kalau saya tanya, jawabannya selalu bagus. Tapi begitu saya turun langsung ke lapangan, ceritanya lain. Jadi jangan-jangan saya juga dibohongi,” ujar Purbaya, Jumat (19/9/2025), di kantornya.

Laporan Indah, Realita Masih Berantakan

Purbaya mencontohkan pengalaman saat mengecek layanan informasi dan pengaduan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atau yang dikenal dengan Kring Pajak.

Meski laporan resmi menyebut Coretax sudah berjalan stabil, keluhan dari masyarakat justru membuktikan sebaliknya.

Ia menyebut laporan yang terlalu dibuat bagus hanya demi menyenangkan atasan adalah bentuk distorsi informasi yang berbahaya.

Baca Juga: Korlantas Polri Resmi Larang Penggunaan Sirine Patwal, Respons Publik Jadi Sorotan

“Ya kalau orang ditanya bos, pasti jawabannya manis-manis. Tapi yang penting kan problemnya benar-benar diselesaikan,” tambahnya.

Budaya Lama yang Sulit Dihilangkan

Budaya ABS bukan hal baru dalam birokrasi Indonesia. Tradisi ini sudah mengakar sejak lama, di mana pejabat atau pegawai cenderung menyajikan laporan yang sesuai ekspektasi pimpinan, bukan berdasarkan kondisi objektif.

Fenomena semacam ini membuat pimpinan kerap mengambil keputusan dengan data yang keliru. Akibatnya, masalah di lapangan tidak terselesaikan secara efektif.

Halaman:

Tags

Terkini