KPK sudah bergerak sejak awal Agustus 2025. Sejumlah penggeledahan dilakukan di berbagai lokasi, mulai dari rumah mantan Menag Yaqut, kantor asosiasi penyelenggara haji, rumah pejabat biro travel, hingga kediaman ASN Kemenag di Depok.
Dari penggeledahan itu, KPK menyita dokumen, perangkat elektronik, belasan kendaraan, tanah dan bangunan, serta uang tunai 1,6 juta dolar AS.
Fakta ini menambah kuat dugaan adanya jaringan besar yang bermain dalam distribusi kuota haji.
Berdasarkan Pasal 64 Ayat 2 UU 8/2019, kuota haji seharusnya dibagi 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk kuota khusus.
Baca Juga: TNI vs Ferry Irwandi: Polemik Laporan Pencemaran Nama Baik dan Seruan Dialog Terbuka
Namun, alokasi 20 ribu kuota tambahan diduga dibagi rata tanpa dasar hukum yang jelas, lalu dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk meraup keuntungan.
Kasus ini memantik perdebatan di ruang publik. Banyak masyarakat menilai, jika benar ada praktik jual beli kuota, maka ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan jutaan umat Islam Indonesia yang rela menabung bertahun-tahun demi berangkat ke tanah suci.
Di media sosial, sejumlah netizen menuntut transparansi penuh dalam pengelolaan kuota haji.
“Korupsi bansos saja sudah menyakitkan, tapi kalau sampai kuota haji diperdagangkan, ini lebih parah lagi,” tulis seorang warganet di platform X (Twitter).
Baca Juga: Fraksi Gerindra Usul Aturan Satu Orang Satu Akun Media Sosial, Menuai Pro dan Kontra
Selain itu, akademisi hukum tata negara juga mendorong KPK untuk tidak hanya berhenti pada level birokrasi, melainkan menelusuri potensi keterlibatan aktor politik maupun pengusaha yang mendapat keuntungan dari skema kuota tambahan tersebut.
Kasus ini menunjukkan betapa sektor keagamaan pun tak lepas dari potensi praktik korupsi. Padahal, penyelenggaraan haji menyangkut ibadah yang sangat sakral bagi umat Islam.
KPK dituntut bekerja ekstra hati-hati agar proses hukum berjalan transparan dan tidak menimbulkan spekulasi politik.
Sementara masyarakat menunggu kepastian hukum, kasus ini menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi sistem distribusi kuota haji agar lebih akuntabel di masa depan.***