Isi tuntutan ini menunjukkan adanya tekanan moral agar pemerintah, DPR, hingga partai politik lebih mendengar suara rakyat, bukan sekadar menjalankan agenda elite.
Pemerintah Diminta Tidak Sekadar Janji
Publik menilai, komitmen pemerintah sering kali berhenti pada pernyataan tanpa realisasi. Sejumlah aktivis mahasiswa di Bandung, misalnya, menyuarakan agar langkah pemerintah kali ini tidak sebatas janji politik.
“Kalau benar serius, harus ada timeline jelas. Jangan lagi sekadar jargon,” kata Rizky, mahasiswa Universitas Padjadjaran, saat ditemui usai aksi di Gedung Sate.
Baca Juga: Kerugian Akibat Aksi Anarkis di Jakarta Membengkak, Polda Metro Sebut Tembus Rp180 Miliar
Kritik senada juga ramai di lini masa X (Twitter). Tagar #17TuntutanRakyat sempat menjadi trending, dengan banyak warganet menuntut transparansi dari pemerintah.
Respons Terukur Jadi Tantangan
Bahlil mengakui bahwa menjawab semua aspirasi rakyat tidak bisa dilakukan secara instan. Pemerintah harus merumuskan solusi yang komprehensif agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
“Tentu langkahnya harus terukur. Kami ingin memastikan setiap aspirasi benar-benar ditindaklanjuti dengan kebijakan yang realistis,” jelasnya.
Ia menambahkan, rakyat berhak menuntut langkah nyata, bukan sekadar retorika. Oleh karena itu, partai politik maupun pemerintah perlu menjaga komunikasi yang intens dengan masyarakat.
“Rakyat tentu berharap ada langkah nyata. Karena itu kami akan dorong agar respons terhadap tuntutan ini bisa memberi dampak positif bagi seluruh masyarakat,” tambahnya.
Fenomena 17+8 tuntutan rakyat ini bisa menjadi momentum penting bagi demokrasi Indonesia.
Jika ditanggapi dengan serius, pemerintah bisa membangun kepercayaan publik yang selama ini menurun akibat maraknya kasus korupsi, pelemahan hukum, hingga krisis lingkungan.
Namun, bila hanya dijadikan formalitas tanpa tindak lanjut, kepercayaan publik justru berisiko runtuh.